JAKARTA RAYA– Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan kembali menjadi sorotan di tengah penurunan daya beli masyarakat.
Kenaikan tarif PPN ini sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang direncanakan berlaku pada Januari 2025. PPN yang saat ini berada di angka 11% akan naik menjadi 12%.
Selain itu, pemerintah juga merencanakan pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 22% menjadi 20% untuk mendorong daya saing Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, wacana pemerintah untuk menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% diprediksi akan menghambat potensi pertumbuhan ekonomi.
“Jika pelaku usaha dibebankan dengan kenaikan PPN, tentunya akan menambah biaya produksi. Ketika biaya produksi ini dibebankan pada harga produk akhir, konsumen akan terkena dampak kenaikan harga, yang menyebabkan mereka mengurangi pengeluaran untuk barang lain,” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (9/11/2024).
Tauhid juga menjelaskan bahwa kenaikan PPN antar produk akan berimplikasi pada double counting dalam perhitungannya. Ia khawatir, kenaikan PPN akan menjadi beban yang menambah inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Hal ini juga dapat berdampak negatif pada perusahaan atau industri yang sangat sensitif terhadap kenaikan tarif PPN, serta berisiko mengurangi lapangan pekerjaan.
Lebih lanjut, Tauhid mengungkapkan, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022-2023 memang menambah penerimaan negara lebih dari 100 triliun rupiah. Namun, hal itu berakibat stagnasi pada pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi masyarakat di tahun 2024, yang merupakan efek dari kenaikan PPN sebelumnya.
Terkait hal itu, INDEF merekomendasikan agar pemerintah menunda kenaikan PPN hingga ekonomi domestik pulih sepenuhnya dan tantangan dari ekonomi global dapat diantisipasi dengan lebih baik. Menurut INDEF, banyak negara yang tidak menerapkan PPN sebesar 12%. Bahkan, beberapa negara masih mengenakan tarif PPN hanya 10%.
“Alternatif lainnya adalah dengan melakukan ekstensifikasi atau intensifikasi basis pajak, bukan hanya mengandalkan kenaikan tarif PPN. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa memperluas basis wajib pajak atau memanfaatkan teknologi agar penerimaan PPN dapat lebih optimal tanpa harus menaikkan tarif,” imbuhnya.
Sementara itu, terkait program makan siang bergizi, Tauhid mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan potensi pembengkakan impor bahan pangan, mengingat masih banyak bahan pangan yang belum dapat dipenuhi dari dalam negeri.
“Sebagian besar bahan pangan, seperti beras, masih harus diimpor. Tanpa program makan siang gratis saja kita sudah mengimpor, tahun lalu hampir 3 juta ton,” katanya.
Dia menekankan pentingnya melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal untuk memperkuat suplai bagi program makan siang ini serta mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan.
“Dengan melibatkan UMKM lokal, mulai dari petani, penyedia barang, hingga pelaksana lokal, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan mereka, alih-alih bermitra dengan pengusaha besar,” jelas Tauhid.
Dia menambahkan, program makan siang gratis ini tidak hanya akan memberikan dampak positif pada kesehatan anak-anak, tetapi juga berdampak pada ekonomi lokal, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan peternak mandiri.
“Ketimbang bermitra dengan pengusaha besar, melibatkan peternak mandiri untuk penyediaan telur atau daging ayam buras akan membawa dampak ekonomi yang lebih besar bagi mereka,” katanya.
Janji utama kampanye Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang mencakup pemberian makan siang gratis untuk hampir 83 juta anak sekolah, diperkirakan membutuhkan lebih dari 6 juta ton beras, 1 juta ton daging ayam, dan 4 juta kiloliter susu sapi segar setiap tahunnya.
Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan anak-anak sekaligus menciptakan peluang bisnis lokal untuk mendukung program tersebut.
“Sisi positif dari program ini adalah jaminan pangan dan peningkatan kesehatan anak-anak Indonesia. Namun, dampak positif ini baru akan terlihat dalam jangka menengah hingga panjang, terutama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pemenuhan gizi yang baik,” pungkasnya.
Di tempat terpisah, Direktur Ekonomi Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri Brigjen Pol. Ratno Kuncoro mengambil langkah proaktif dengan menyerap aspirasi dari pakar ekonomi Indonesia. Langkah ini dilakukan untuk mendengarkan tantangan dan kebutuhan yang dihadapi dalam pertumbuhan ekonomi domestik, guna meningkatkan perekonomian dan stabilitas keamanan ekonomi nasional.
Dalam pertemuan yang digelar baru-baru ini, para pengamat ekonomi dari INDEF membahas berbagai isu, mulai dari penyebab inflasi, perang dagang AS-China, hingga masalah ketahanan pangan.
Kuncoro menyampaikan, hasil dialog ini akan ditindaklanjuti untuk memperkuat iklim usaha yang kondusif dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan arah Presiden Prabowo.
“Penyerapan aspirasi ini merupakan bagian dari komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam mendukung pertumbuhan industri nasional sekaligus menjaga stabilitas keamanan yang menjadi landasan utama dalam pembangunan ekonomi,” ujarnya.
Kuncoro menambahkan, langkah tindak lanjut ini juga sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya sinergi antara sektor keamanan dan ekonomi untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global dan mendukung pertumbuhan perekonomian nasional. (hab)
Tinggalkan Balasan