Oleh: Mohamad Fuad

Pada dekade 1980-an, Nahdlatul Ulama (NU) mengalami dinamika internal dan eksternal yang cukup kompleks. Salah satu faktor eksternal yang cukup signifikan adalah pengaruh Revolusi Islam Iran tahun 1979. Gerakan tersebut membawa semangat baru bagi sebagian kaum terpelajar NU yang saat itu tengah menimba ilmu di Timur Tengah. Mereka terinspirasi oleh keberhasilan Imam Khomeini dan kelompok ulama dalam menggulingkan rezim otoriter dan membangun sistem berbasis nilai-nilai Islam yang anti-hegemoni Barat.

Sementara itu, secara internal, NU berada dalam posisi dilematis pada era Orde Baru. Keterlibatan NU dalam politik praktis melalui partai politik dianggap menyimpang dari khittah awal sebagai organisasi keagamaan dan sosial. Fokus NU yang sebelumnya pada pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat beralih ke panggung politik, menimbulkan kekhawatiran di kalangan tokoh-tokoh NU.

Pada era 1970-an, tekanan dari pemerintah Orde Baru semakin mempersempit ruang gerak NU. Tuduhan sebagai organisasi yang anti-Pancasila menjadi puncak dari ketegangan itu. Muktamar NU tahun 1984 kemudian menjadi titik balik. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara resmi memutuskan untuk keluar dari politik praktis dan kembali menegaskan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang independen.

Keputusan tersebut dikenal sebagai Khittah NU 1926, sebuah piagam yang mengembalikan NU pada tujuan awal para pendirinya: memperkuat posisi umat melalui jalur pendidikan, sosial, dan keagamaan tanpa terlibat langsung dalam politik praktis.

Pro dan Kontra Kelahiran PKB

Lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1998 memunculkan perdebatan di internal NU. Sebagian pihak menilai bahwa keberadaan PKB bertentangan dengan semangat Khittah NU 1926. Namun, bila ditelaah lebih dalam, secara organisasional pembentukan PKB yang digagas oleh PBNU memiliki dasar yang sah dan tidak bertentangan dengan Khittah.

Secara ideologis dan ruhaniyah, Mabda’ Siyasi PKB justru merupakan kelanjutan dari prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam Khittah NU 1926. Meski secara struktural PKB tidak berada di dalam tubuh NU, hubungan keduanya bersifat kultural dan historis. Mabda’ Siyasi PKB lahir sebagai jawaban atas kebutuhan politik warga NU di era reformasi, sekaligus sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi politik warga nahdliyin secara konstitusional.

Relasi Kuat antara Mabda’ Siyasi dan Khittah NU

Meskipun berbeda secara bentuk, Mabda’ Siyasi dan Khittah NU 1926 memiliki kesamaan yang sangat kuat dalam beberapa hal:

1. Kesamaan Nilai-Nilai

Keduanya menjunjung tinggi moralitas, demokrasi, keadilan sosial, persatuan, dan penolakan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Nilai-nilai kemanusiaan yang universal dikedepankan, tanpa mengabaikan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.

2. Landasan Dasar

Mabda’ Siyasi dikembangkan dari prinsip-prinsip independensi dan kedaulatan organisasi yang menjadi inti Khittah NU 1926. Meskipun tidak secara tekstual dinyatakan, spirit Khittah menjadi inspirasi utama dalam penyusunan Mabda’ Siyasi.

3. Konsistensi terhadap Negara dan Aswaja

Mabda’ Siyasi menegaskan konsistensi terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan prinsip Ahlussunnah wal Jamaah. Ini menunjukkan bahwa Mabda’ Siyasi adalah perpanjangan tangan NU dalam konteks politik kenegaraan, bukan penyimpangan.

Dilema dan Tantangan Internal

Tidak dapat dipungkiri, masih ada sebagian warga dan struktur NU yang belum bisa menerima kehadiran PKB. Sikap ini lebih banyak disebabkan oleh pemahaman yang belum utuh terhadap sejarah dan semangat Khittah NU 1926. Padahal, dalam realitasnya, Khittah tidak menutup ruang bagi warga NU untuk berpolitik, asalkan tidak membawa nama organisasi secara struktural.

Pertanyaannya kemudian, apakah Mabda’ Siyasi PKB bisa dijalankan oleh seluruh kader NU, termasuk mereka yang berada di partai politik lain? Atau bahkan oleh mereka yang berada dalam struktur NU?

Jawabannya: mungkin saja secara nilai, tetapi tidak secara struktural. Karena itu, NU sebagai organisasi tetap harus menjaga netralitasnya. Struktur NU dan badan otonomnya tidak diperkenankan terlibat dalam dukung-mendukung politik praktis. Ini adalah garis tegas agar NU tetap berada di rel Khittah 1926.

Strategi Mabda’ Siyasi ke Depan

Ke depan, Mabda’ Siyasi PKB harus mampu menjadi lokomotif yang proporsional. Bukan hanya menjadi wadah politik bagi warga NU, tetapi juga membangun sinergi dengan kader NU di berbagai partai lain dalam bingkai nilai dan perjuangan yang sama. Untuk itu, beberapa strategi yang dapat dijalankan antara lain:

  • Meningkatkan kaderisasi politik berbasis nilai-nilai Aswaja
  • Membangun komunikasi yang inklusif dengan kader NU lintas partai
  • Menjaga konsistensi politik kebangsaan yang berakar pada moralitas dan kemanusiaan
  • Menjadi pelopor politik bersih dan menjauhi praktik transaksional

Mabda’ Siyasi bukan hanya milik PKB, tetapi milik sejarah dan peradaban warga NU yang ingin menyatukan antara dakwah dan politik dalam satu napas kebangsaan. Maka, siapa pun kader NU yang membawa semangat ini apapun afiliasi politiknya sejatinya sedang menghidupkan kembali semangat Khittah NU 1926 dalam ruang yang lebih luas. (***)