JAKARTA RAYA — Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LBH-AP PP Muhammadiyah) menyatakan keprihatinan mendalam sekaligus mengecam keras serangan digital yang menimpa Neni Nur Hayati, seorang peneliti dan aktivis perempuan pembela hak asasi manusia (HAM).

Serangan tersebut mencakup peretasan akun pribadi, doxing (penyebaran data pribadi), ancaman kekerasan dan pembunuhan, penyiksaan, cyberbullying, serta kampanye disinformasi sistematis yang secara langsung mengancam keamanan dan hak-hak digital Neni. LBH Muhammadiyah menegaskan bahwa tindakan ini merupakan bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap perempuan pembela HAM.

Bermula dari Unggahan Akun Resmi Pemprov Jabar

Serangan ini bermula pada 15 Juli 2025, ketika akun resmi Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta empat akun Instagram resmi lainnya mengunggah video klarifikasi Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait isu penggunaan buzzer.

Dalam video tersebut, wajah Neni ditampilkan tanpa izin. Padahal, Neni tidak pernah menyebut nama Dedi Mulyadi secara langsung dalam konten yang ia unggah di media sosial. Penayangan visual tersebut, yang termasuk data biometrik dan dilindungi oleh Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi, memicu gelombang serangan digital terhadap Neni pada 15–16 Juli 2025.

Tuntutan Hukum dan Tanggapan Separuh Hati

Melalui somasi tertulis pada 21 Juli 2025, LBH-AP PP Muhammadiyah selaku kuasa hukum resmi Neni menuntut Pemprov Jabar untuk:

  • Menurunkan (take down) seluruh konten yang menampilkan wajah Neni dari akun resmi pemerintah;
  • Menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada Neni;
  • Mengupayakan penghapusan konten-konten serupa di luar akun resmi yang turut memicu serangan digital.

Diskominfo Jabar menjawab somasi tersebut melalui surat tertanggal 24 Juli 2025. Mereka menyatakan bersedia menghapus video dari akun resmi yang menampilkan wajah Neni. Namun, tidak ada permintaan maaf, dan tidak ada komitmen untuk menindak konten-konten lain yang memperparah perundungan digital terhadap Neni.

Negara Tidak Bisa Lepas Tangan

LBH Muhammadiyah menegaskan bahwa Pemprov Jabar tidak dapat lepas dari tanggung jawab, mengingat serangan digital bermula dari konten yang dipublikasikan oleh akun resmi pemerintah. Sebagai bagian dari representasi negara, Pemprov memiliki kewajiban hukum untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk hak atas privasi dan data pribadi warga negara.

Kewajiban tersebut tercantum dalam:

  • UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
  • UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik,
  • UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.

LBH Muhammadiyah menyayangkan kurangnya itikad baik dari pemerintah daerah dalam merespons kasus ini, sementara serangan terhadap Neni masih berlangsung hingga kini, termasuk melalui unggahan baru yang memuat muatan pelecehan dan ancaman kekerasan.

Tiga Tuntutan LBH Muhammadiyah

Untuk itu, LBH-AP PP Muhammadiyah mendesak:

  1. Gubernur dan Pemprov Jawa Barat menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan melakukan tindakan nyata menghentikan serangan digital terhadap Neni di berbagai platform (Instagram, TikTok, YouTube).
  2. Pemprov melaporkan dan meminta take down konten lain di luar kanal resmi yang mengandung ujaran kebencian, pelecehan, dan ancaman terhadap Neni.
  3. Pemprov mengimbau masyarakat untuk menghentikan segala bentuk kekerasan digital, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Jika tuntutan ini tidak ditindaklanjuti, LBH Muhammadiyah menyatakan siap menempuh jalur hukum lebih lanjut, termasuk gugatan perdata, tata usaha negara, maupun pelaporan pidana.

Ancaman terhadap Demokrasi

LBH Muhammadiyah mengingatkan bahwa serangan terhadap Neni bukan hanya persoalan pribadi, melainkan indikator memburuknya situasi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia. Jika negara abai, kasus serupa bisa menimpa siapa pun yang menyuarakan kritik atau pendapat secara sah. (hab)