JAKARTA RAYA, Medan – Ketegangan antara Iran dan Israel kembali memanas. Setelah eskalasi besar pertama pada April 2024, ketika Iran meluncurkan serangan rudal dan drone ke wilayah Israel, situasi kian memburuk pasca-serangan lanjutan oleh Israel pada 13 Juni 2025. Konflik ini disebut sebagai salah satu yang paling serius dalam sejarah hubungan kedua negara, bahkan memicu kekhawatiran akan potensi perang global.

Serangan-serangan bersenjata berat dari kedua belah pihak telah merusak banyak infrastruktur penting dan menewaskan ribuan warga sipil, baik dari Iran dan Israel maupun warga negara asing yang berada di zona konflik.

Di tengah situasi yang terus memanas, sejumlah tokoh agama dan akademisi di Sumatera Utara angkat suara untuk memberi penekanan pada perspektif yang lebih jernih, agar masyarakat tidak terprovokasi oleh narasi yang keliru.

Guru Besar Sosiologi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Prof. Dr. Ansari Yamamah, menegaskan bahwa konflik Iran–Israel tidak berakar pada persoalan agama.

“Motif konflik ini lebih bersifat politis, berkaitan dengan kekuasaan dan strategi militer, serta berimbas besar pada sisi kemanusiaan. Ini bukan konflik agama,” jelas Prof. Ansari.

Senada dengan itu, Ketua GEMA MASJID Sumut, Ustaz Masdar Tambusai, S.Ag, mengingatkan bahwa konflik tersebut dapat memicu perubahan konstelasi kekuatan global.

“Ketegangan ini bukan saja mengancam stabilitas kawasan, tetapi juga menunjukkan betapa rapuhnya sistem internasional terhadap konflik berkepanjangan. Ini jelas bukan perang antaragama, melainkan perang politik antarnegara,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua DPW Persatuan Islam Sumatera Nasional (PISN), Amrin Nasution alias Ucok, menilai bahwa narasi konflik agama yang berkembang di media sosial justru berbahaya dan dapat memecah belah persatuan bangsa.

“Konflik Iran–Israel adalah konflik politik murni. Masyarakat Sumatera Utara harus cerdas dan tidak mudah terpancing isu yang menggiring opini bahwa ini adalah konflik agama. Itu hanya akan memecah belah umat dan bangsa,” tegasnya.

Ketiga tokoh ini sepakat bahwa masyarakat Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, perlu mengedepankan sikap kritis, damai, dan tidak ikut terseret dalam provokasi konflik global yang sarat kepentingan politik dan kekuasaan.

Konflik ini, menurut mereka, adalah cerminan dari rivalitas kekuatan yang telah berlangsung lama, berbasis ideologi dan strategi geopolitik, bukan semata-mata agama. Keterlibatan negara-negara pendukung di masing-masing blok juga memperbesar potensi konflik ini meluas menjadi konflik internasional terbuka. (sin)