JAKARTA RAYA – Tim Advokat dari Law Firm Fernando Silalahi & Partners yang terdiri atas Dr. Fernando Silalahi, S.T., S.H., M.H., CLA., Dr. Rusdin Ismail, S.H., M.H., CLA., Dr. Sahat Tambunan, S.H., M.H., MKn., CLA., Usman Effendi, S.H., Boyco Tambunan, S.H., dan Anggita Putri Rahayu, S.H., resmi mengajukan permohonan praperadilan terhadap Kapolri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Permohonan ini terdaftar dengan Nomor 111/Pid.Pra/2025/PN.Jkt.Sel, menyusul diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas Laporan Polisi Nomor: LP/B/4149/VIII/2022/SPKT/Polda Metro Jaya tanggal 12 Agustus 2022, dengan pelapor Tuty Sri Wahyuni Siregar dan terlapor Hariyadi Satrio dkk.

Kasus bermula saat Hariyadi Satrio, Direktur Utama PT Momentum Maju Sejahtera (MoMS), dituding tidak dapat mempertanggungjawabkan keuangan perusahaan senilai Rp8 miliar dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Ia pun dilaporkan atas dugaan penggelapan dana perusahaan ke Polda Metro Jaya.

“Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Nomor: B/2873/VII/RES.7.5.2025/Ditreskrimsus Polda Metro Jaya kepada kami pada 3 Juli 2025, penyidikan atas dugaan tindak pidana penggelapan, penggelapan dalam jabatan, dan/atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) telah dihentikan melalui SP3,” ujar Dr. Fernando Silalahi, Senin (22/9/2025).

Fernando menegaskan bahwa pemohon, selaku Komisaris Utama PT MoMS, adalah korban dalam kasus ini. Namun, laporan yang diajukan justru dihentikan penyidikannya. Hal itu diketahui dari SP2HP Nomor: 2118/VI/RES.2.6./2025/Ditreskrimsus tanggal 12 Juni 2025.

Penghentian penyidikan tersebut dituangkan dalam Surat Perintah Penghentian Penyidikan Nomor: SPPP/280/VI/RES.2.6./2025/Ditreskrimsus tanggal 18 Juni 2025 jo. Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan Nomor: S.Tap/280/VI/RES.2.6./2025/Ditreskrimsus tanggal 18 Juni 2025 atas nama pelapor Tuty Sri Wahyuni.

Lebih lanjut, Fernando menguraikan bahwa kejanggalan terungkap sejak RUPS tanggal 14 Oktober 2020, di mana tidak ada laporan keuangan perusahaan yang jelas. Hanya terdapat rekening koran berisi catatan pinjaman PT MoMS ke PT Hikari Karya Sejahtera (HKS) pada 2017 tanpa persetujuan Dewan Komisaris.

“Pinjaman perusahaan tanpa sepengetahuan komisaris jelas menimbulkan pertanyaan besar: untuk apa dana itu digunakan, dan bagaimana pertanggungjawabannya? Jika tidak disertai laporan keuangan yang sah, hal itu berpotensi masuk ranah pidana,” tegas Fernando, yang juga Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum UKI.

Ia juga menyoroti adanya pembagian dividen yang belum termasuk pajak, transfer dana perusahaan ke pihak lain yang bukan pemegang saham maupun karyawan, hingga biaya perjalanan besar ke Thailand dan Bali tanpa persetujuan Dewan Komisaris.

Menurutnya, berdasarkan hasil RUPS tersebut, dana perusahaan senilai Rp8 miliar tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menjadi dasar laporan hukum terhadap Hariyadi Satrio. (hab)