JAKARTA RAYA – EN (43) tidak pernah membayangkan hidupnya di Rusunawa Marunda berakhir dengan ancaman pengusiran. Sejak pertama kali menempati salah satu unit pada Maret 2013, ia berusaha memenuhi kewajiban sebagai penyewa.

Statusnya sebagai warga umum membuatnya berbeda dari sebagian penghuni lain yang merupakan warga relokasi.

Bagi warga relokasi, fasilitas yang didapat lebih lengkap: unit sudah terisi perabotan, bahkan ada bantuan modal usaha, serta subsidi pembayaran hingga 50 persen. Sementara EN harus membayar penuh, tanpa keringanan.

Dari Pembayaran Manual ke Auto Debet Bank Jakarta

Pada awal masa sewa, pembayaran dilakukan manual dengan menyerahkan uang langsung ke admin. Namun tak lama kemudian, sistem berubah: seluruh pembayaran wajib melalui Bank Jakarta dengan mekanisme auto debet.

EN menyetorkan Rp 1,2 juta sebagai jaminan tiga bulan pembayaran. Dengan itu, ia berhak mendapatkan Surat Perjanjian Sewa (SP) sebagai pegangan resmi tinggal di rusun.

Masalah Dimulai dari Error Bank Jakarta 2014

Masalah besar muncul pada 2014. Sistem Bank Jakarta mengalami gangguan hampir setahun, membuat auto debet tidak berjalan. Pengelola meminta penghuni tetap menabung tiap bulan di rekening Bank Jakarta, dengan janji begitu sistem normal, biaya sewa otomatis dipotong dari tabungan.

EN mematuhi aturan itu. Ia menabung agar sewanya tercatat aman. Namun saat sistem kembali normal, justru muncul masalah: meski sudah dipotong dari tabungan, semua penghuni tetap dianggap menunggak dan dikenai denda.

Sejak saat itu, benang kusut bermula. Banyak warga keberatan, tapi kebijakan denda tetap diberlakukan hingga tunggakan menumpuk, termasuk bagi EN.

Upaya Melawan Tunggakan

Pada 4 Agustus 2017, EN memperbarui SP dengan syarat mencicil minimal Rp 1 juta. SP baru memang terbit, tapi dicap “belum lunas.” Denda terus menumpuk, membuatnya makin sulit membayar rutin.

Beberapa kali unitnya disegel. Namun ia tetap beritikad baik, sempat mencicil pada Agustus 2024, Februari 2025, dan April 2025. Meski begitu, pengelola tetap menuntut jumlah di luar kemampuannya.

Kini total tunggakan membengkak hingga Rp 60 juta, terdiri dari sewa dan akumulasi denda. N mencoba bernegosiasi untuk mencicil Rp 2 juta per bulan. Namun dengan kondisi suami hanya berpenghasilan Rp 3 juta sebagai sopir, dan lima anak yang masih sekolah, hal itu pun terasa berat.

Tawarannya ditolak. Pengelola mensyaratkan pembayaran separuh tunggakan di muka—sesuatu yang mustahil ia penuhi.

Tekanan Memuncak

Pada 19 September 2025, seorang petugas UPRS II mendatangi kediamannya tanpa surat resmi. Ia diminta melunasi minimal Rp 5 juta di akhir bulan. N keberatan, hanya sanggup Rp 1–1,5 juta, tapi ditolak.

Ancaman itu nyata. Tiga hari kemudian, pada 22 September 2025, surat pengosongan resmi diterimanya.

Anak-Anak Jadi Korban

Lima anak N yang masih bersekolah ikut terdampak. Ketidakpastian tempat tinggal membuat pendidikan dan kesejahteraan mereka terancam. N berusaha melindungi keluarga, namun tekanan ekonomi dan administrasi kian berat.

Bukan Kasus Tunggal

Kasus ini bukan hanya dialami N. Sedikitnya 15 penghuni Rusun Marunda lain menghadapi ancaman serupa. Mereka terjebak dalam tunggakan dan denda yang bermula dari error perbankan, bukan semata kelalaian penghuni.

Informasi lain menyebut, kasus sejenis juga terjadi di sejumlah rusun lain di Jakarta. Artinya, persoalan ini bukan sekadar masalah individu, melainkan gambaran dari kelemahan sistem pengelolaan yang lebih luas.

Dilema Penghuni Rusun

Kisah N mencerminkan dilema warga kecil yang hanya ingin membayar sewa rumah dengan jujur, namun malah terjerat tunggakan akibat kesalahan teknis. Belasan bahkan ratusan penghuni rusun lain mungkin menghadapi masalah serupa—denda yang membengkak dan ancaman diusir dari tempat tinggal yang mereka huni bertahun-tahun. (Jr)