JAKARTA RAYA – CEO Weka Institute, Wawat Kurniawan, menilai pernyataan Nusron Wahid yang diperkuat dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto terkait penguasaan tanah memiliki implikasi serius terhadap sistem hukum, konstitusi, dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Menurut Wawat, tafsir yang menyamakan “penguasaan negara” dengan “kepemilikan mutlak” berpotensi menggeser arah negara dari semangat UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

“Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menegaskan bahwa tanah, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kata dikuasai di sini tidak berarti dimiliki, melainkan fungsi negara sebagai pengatur dan pengelola,” ujarnya.

Wawat menjelaskan bahwa UUPA 1960 memberikan berbagai hak turunan, seperti Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak Pakai, yang seharusnya dijamin oleh negara. Jika tafsir Nusron diterapkan tanpa koreksi, kata dia, maka hak milik warga bisa diperkecil derajatnya menjadi sekadar izin sementara yang sewaktu-waktu dapat dicabut negara.

“Itu jelas melenceng dari semangat UUPA, yang sejak awal ditujukan untuk melindungi kepemilikan rakyat kecil, bukan justru menempatkan mereka seolah-olah hanya numpang di tanah sendiri,” tegas Wawat.

Dugaan Pelanggaran HAM

Wawat juga menilai kebijakan percepatan pengambilalihan tanah warga dalam waktu 90 hari tanpa proses hukum yang adil berpotensi menjadi bentuk perampasan hak milik.

“Hak atas kepemilikan adalah bagian dari HAM universal yang dilindungi Pasal 17 DUHAM, Pasal 5 ICESCR, dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Jika rakyat dipaksa menyerahkan tanah tanpa mekanisme yang layak, itu pelanggaran hak atas rasa aman dan martabat manusia,” jelasnya.

Ia menyoroti potensi penyalahgunaan konsep tanah “terlantar” yang bisa menjadi pintu masuk bagi negara untuk mengambil alih tanah produktif rakyat. “Kalau definisi ‘terlantar’ dipakai semena-mena, ini bisa jadi legalisasi perampasan tanah,” tambahnya.

Indonesia Terancam Jadi “State Landlord”

Lebih jauh, Wawat memperingatkan bahwa jika logika ini dijalankan, Indonesia bisa bergeser ke arah negara korporatis-militeristik.

“Negara akan berubah menjadi state landlord, tuan tanah tunggal, sementara rakyat hanya penyewa. Reforma agraria bisa jadi retorika kosong, dan tanah rakyat kecil justru berpindah ke tangan korporasi besar lewat mekanisme negara,” jelasnya.

Menurutnya, hal ini bukan hanya menyalahi prinsip negara kesejahteraan, tetapi juga menimbulkan efek sosial-politik yang berbahaya.

Potensi Konflik dan Krisis Legitimasi

Wawat mengingatkan bahwa konsekuensi kebijakan ini dapat memicu konflik agraria di berbagai daerah.

“Rakyat pasti akan mempertahankan tanah yang mereka anggap hak turun-temurun. Jika negara memaksa, bentrokan dengan aparat sulit dihindari,” paparnya.

Selain itu, ia menilai kebijakan ini kontraproduktif bagi iklim investasi. “Investor justru akan ragu, karena kepastian hukum hilang. Tanah yang sudah diberikan hak bisa sewaktu-waktu dicabut,” kata dia.

Pada akhirnya, menurut Wawat, legitimasi pemerintah sendiri bisa runtuh. “Rakyat akan melihat negara bukan sebagai pelindung, melainkan predator. Ini berbahaya bagi stabilitas politik,” tandasnya.

Wawat menegaskan, kebijakan agraria yang menempatkan negara sebagai pemilik mutlak aset tanah sama saja dengan melanggar konstitusi dan HAM.

“Jika dibiarkan, Indonesia bisa masuk ke model neo-feodalisme, di mana rakyat menjadi penyewa di tanah kelahirannya sendiri. Itu bukan cita-cita reformasi agraria, bukan pula semangat UUD 1945,” pungkas CEO Weka Institute tersebut. (Hab)