Oleh: Mohamad Fuad (Analis Pusat Studi Kebijakan dan Sosial)
Mengapa sebagian legislator dan masyarakat kelas menengah bersikap anti terhadap pesantren atau tidak menyukai sistem pendidikan pesantren?
Dalam arus modernisasi dan urbanisasi yang semakin deras, muncul fenomena sosial yang menarik: sebagian masyarakat kelas menengah mulai bersikap dingin, bahkan cenderung anti terhadap pesantren. Padahal, pesantren telah menjadi salah satu pilar penting dalam sejarah pendidikan dan pembentukan karakter bangsa Indonesia.
Fenomena ini tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh dari pergeseran nilai, persepsi sosial, dan gaya hidup baru yang mulai mengubah cara masyarakat memandang pendidikan dan religiusitas.
1. Pergeseran Nilai dan Pandangan Hidup
Kelas menengah di kota-kota besar cenderung menilai pendidikan dari output ekonomi, bukan pembentukan moral. Bagi mereka, sekolah unggulan, bilingual, atau internasional dianggap sebagai simbol kemajuan sosial dan jaminan masa depan.
Sementara pesantren sering dipersepsikan hanya fokus pada agama, minim teknologi, dan tidak menjanjikan karier yang “menarik” dalam dunia modern.
Maka lahirlah pandangan sempit: pesantren adalah tempat bagi mereka yang tidak mampu bersaing di sekolah umum. Padahal, pesantren modern kini justru banyak melahirkan generasi intelektual, wirausahawan, dan pemimpin sosial yang tangguh.
2. Stereotip Sosial dan Ketidaktahuan
Sebagian masyarakat kelas menengah tumbuh jauh dari tradisi keagamaan yang hidup di pesantren.
Mereka hanya mengenal pesantren dari pemberitaan media sering kali saat ada kasus kekerasan, radikalisme, atau pelanggaran di segelintir oknum.
Akibatnya, pesantren dicap “kolot”, “tertutup”, atau bahkan “berbahaya”.
Padahal, realitas pesantren sangat beragam: ada yang tradisional dengan kitab kuning, ada yang modern dengan laboratorium sains, bahkan ada pesantren yang berbasis teknologi digital dan kewirausahaan. Namun karena bias media seperti TV Trans7 Studio TransTV-Trans7 dan kurangnya interaksi langsung, kelas menengah membangun jarak sosial dan mental terhadap dunia pesantren.
3. Kecenderungan Individualistik dan Hedonistik
Kelas menengah perkotaan banyak hidup dalam budaya kenyamanan, privasi, dan efisiensi.
Mereka terbiasa dengan ruang belajar ber-AC, fasilitas digital, dan ritme hidup serba cepat.Sementara pesantren menekankan kesederhanaan, disiplin, dan kebersamaan nilai-nilai yang sering kali dianggap “mengganggu kebebasan pribadi”.
Maka, muncul benturan nilai: Pesantren mengajarkan zuhud (kesederhanaan), sedangkan kelas menengah mengagungkan prestise (status sosial). Pesantren mengajarkan tawadhu’ (kerendahan hati), sedangkan kelas menengah sering mengejar pengakuan publik.
4. Ketakutan Terhadap Ideologi dan Politik Identitas
Dalam dua dekade terakhir, isu agama sering dikaitkan dengan politik identitas. Sebagian masyarakat kelas menengah yang cenderung rasional dan moderat menjadi waspada terhadap segala bentuk simbol agama yang kuat, termasuk pesantren.
Mereka khawatir pesantren menjadi tempat “pembentukan ideologi tertutup” yang bisa mengancam pluralitas.
Padahal, justru pesantren tradisional-lah yang selama ini menjadi benteng Islam moderat dan toleran, menjaga keseimbangan antara agama, budaya, dan kebangsaan.
5. Krisis Kepercayaan terhadap Lembaga Keagamaan
Sebagian masyarakat kelas menengah mengalami spiritual fatigue kejenuhan terhadap simbol keagamaan yang dianggap tidak relevan dengan realitas modern.
Mereka ingin agama yang “praktis” dan “ringan”, bukan yang membutuhkan pengorbanan waktu, kedisiplinan, atau kehidupan kolektif seperti di pesantren. Maka pesantren dipandang terlalu berat, terlalu serius, dan tidak “sejalan” dengan gaya hidup modern yang serba instan.
Refleksi: Menyatukan Kembali Dunia yang Terpisah
Fenomena robohnya pesantren seharusnya tidak dihadapi dengan saling menuduh dan saling menakut nakuti saling menghujat serta saling menghina tetapi dengan membangun jembatan pemahaman.
Pesantren perlu membuka diri, memperkenalkan sistemnya dengan cara yang komunikatif dan adaptif terhadap zaman.
Sementara kelas menengah perlu menyadari bahwa kemajuan material tanpa akar moral dan spiritual adalah kekosongan yang berbahaya.
Pesantren bukan lawan modernitas ia adalah penjaga moralitas dalam modernitas. Dan bangsa yang kehilangan pesantrennya, akan kehilangan akar jati dirinya. (***)
Tinggalkan Balasan