JAKARTA RAYA, Mataram — Kasus dugaan pemalsuan tanda tangan yang menimpa seorang perempuan lanjut usia, Sri Kartini (70), kini disorot oleh kuasa hukumnya. Laporan polisi yang telah dibuat sejak Juli 2023 dinilai berjalan lamban dan belum memberikan kepastian hukum. Dua terlapor utama, yakni Putu Narantika dan Made Suartha SH, disebut masih bebas berkegiatan di Lombok dan belum ditahan meski telah berstatus tersangka.

Kuasa hukum pelapor, Lalu Arya S. G., SH., MH dan Lalu Bintang M. Arty, SH, menyampaikan pengaduan resmi kepada Inspektorat Pengawasan Daerah Polda NTB pada 4 Agustus 2025. Mereka menilai penanganan perkara dengan nomor LP/B/83/VII/2023/NTB/SPKT itu berlangsung berlarut-larut dan tidak sesuai prinsip keadilan.

“Klien kami seorang ibu lanjut usia yang kehilangan hak atas tanah karena tanda tangannya diduga dipalsukan. Sudah lebih dari dua tahun proses berjalan, tapi tersangka belum juga ditahan maupun dikenakan wajib lapor,” tegas Lalu Arya.

Dalam pengaduan tersebut, kuasa hukum menjelaskan bahwa penyidik telah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan dan beberapa Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) sejak Februari 2024 hingga Juni 2025. Bahkan, dalam SP2HP tertanggal 13 Mei 2024 telah disebutkan bahwa Putu Narantika alias Naron ditetapkan sebagai tersangka per 5 April 2024.

Namun, setelah tiga kali pemanggilan, tersangka tidak pernah hadir. Pada SP2HP keempat, 30 Juni 2025, penyidik justru mengirimkan berkas perkara ke Kejati NTB tanpa adanya penahanan.

“Penyidik sudah memanggil tiga kali. Sesuai KUHAP, ketika panggilan diabaikan, harus ada perintah membawa atau menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO). Namun ini tidak dilakukan,” ujar Lalu Bintang.

Kuasa hukum juga menyoroti ketidakhadiran tersangka kedua, Made Suartha SH, yang turut dilaporkan atas dugaan penggunaan dokumen palsu. Mereka mempertanyakan mengapa hanya satu berkas atas nama Putu Narantika yang dikirim ke Kejati, sementara Made Suartha tidak dilanjutkan.

Lebih lanjut, tim kuasa hukum menyatakan telah memberikan alamat domisili terlapor di Denpasar, Bali, untuk memudahkan proses penjemputan, namun belum ada tindak lanjut nyata.

“Kami bukan hanya mengadukan, tapi membantu memberi data. Yang kami minta hanya kejelasan hukum, bukan membiarkan tersangka berkeliaran tanpa status jelas,” tambah Lalu Arya.

Mereka juga meminta Polda NTB menerbitkan DPO terhadap Putu Narantika bila yang bersangkutan terus mangkir, sesuai Pasal 17 ayat (6) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Menurut kuasa hukum, Sri Kartini mengalami kerugian materiil dan psikologis akibat kasus ini, terutama karena tanah miliknya diduga dialihkan dengan dokumen palsu sejak 2019–2020.

“Kami menghormati kinerja aparat, tapi penegakan hukum yang tak kunjung tuntas justru menambah penderitaan korban. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas,” tegas Lalu Bintang.

Melalui laporan pengaduan masyarakat ini, mereka berharap Inspektorat Polda NTB turun tangan mengawasi penanganan perkara dan memastikan proses berjalan sesuai hukum.

Kasus ini turut ditembuskan kepada Kompolnas, Kadiv Propam Polri, dan Irwasum Polri sebagai bentuk permohonan pengawasan lanjutan. (hab)