Oleh: Mohamad Fuad – Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Sosial (Puskas)
Latar belakang masalah: Pengendapan Dana Daerah
Pro dan kontra “uang daerah mengendap di bank” muncul karena hasil evaluasi Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa triliunan dana APBD di banyak daerah tidak terserap, bahkan mengendap dalam bentuk deposito di bank daerah atau bank umum.
Menkeu Purbaya (kebijakan fiskal pemerintahan Prabowo) menegaskan bahwa dana tersebut seharusnya segera digunakan untuk program produktif untuk pembangunan, layanan publik, dan stimulus ekonomi lokal.
Filosofi Purbaya adalah uang rakyat tidak boleh tidur di bank, sementara rakyatnya kesulitan.
Namun bagi sebagian kepala daerah, seperti Gubernur Jabar Dedi Mulyadi (hipotetis atau asumsi jabatan baru), pernyataan ini dianggap mengganggu dan merongrong wibawa dan kedaulatan fiskal daerah.
Alasan Dedi Mulyadi bereaksi keras
Sikap keras Dedi Mulyadi bisa dibaca dari beberapa sudut, antara lain
1. Pertahanan otoritas fiskal daerah
Sebagai gubernur, Dedi melihat bahwa pengelolaan kas daerah adalah hak dan tanggung jawab pemerintah daerah sesuai asas otonomi.
Ketika Menkeu Purbaya menegur atau menyoroti “pengendapan dana daerah”, itu bisa dianggap sebagai bentuk intervensi pusat terhadap ruang fiskal daerah.
Reaksi keras muncul sebagai sinyal mempertahankan kemandirian daerah.
2 Isu politik simbolik
Dedi dikenal sebagai politisi dengan basis rakyat dan citra nasionalis populis. Dalam konteks politik, menentang atau mengkritik kebijakan pusat yang “terlalu teknokratik” (seperti gaya Purbaya) bisa menaikkan citra dirinya ke tingkat nasional sebagai pembela kepentingan daerah. Ini bukan sekadar ekonomi, tapi juga strategi positioning politik masa depan.
3. Ketegangan antara teknis dan politis
Purbaya berbicara dari kacamata teknokrasi fiskal efisiensi, multiplier effect, dan stabilitas ekonomi makro. Sedangkan Dedi bergerak di wilayah politis praktis dan sosiologis ritme birokrasi daerah, realitas proyek lapangan, dan dinamika lokal.
Ketika teknokrat menekan waktu realisasi anggaran, politisi daerah melihatnya sebagai gangguan terhadap fleksibilitas dan kepentingan daerah.
4. Potensi Benturan Kepentingan Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Banyak dana daerah ditempatkan di BPD milik pemerintah provinsi/kabupaten.
Jika dana itu ditarik atau diatur lebih ketat oleh pusat, BPD bisa kehilangan likuiditas besar.
Dedi, sebagai gubernur, tentu ingin melindungi “aset daerah” itu.
Sedangkan Purbaya ingin memastikan uang publik tidak menjadi sumber rente bank, tetapi kembali ke masyarakat melalui belanja produktif.
Apakah profesionalisme Purbaya membahayakan konteks politik Dedi Mulyadi?
Jawabannya: Ya, dalam jangka pendek bisa mengganggu manuver Dedi Mulyadi tetapi dalam jangka panjang bisa justru memperkuat posisi politik Dedi Mulyadi. Membahayakan (dalam konteks politik birokrasi) bahwa Gubernur dianggap tidak sejalan dengan visi fiskal Presiden Prabowo yang dijalankan oleh Menkeu Purbaya.
Polemik ini bisa muncul kesan Dedi melawan kebijakan pusat, yang berisiko pada hubungan fiskal dan dukungan proyek pusat ke Jawa Barat. Purbaya adalah figur strategis dan dipercaya Prabowo sebagai arsitek kebijakan ekonomi nasional. Maka menentang Menkeu Purbaya secara terbuka bisa dianggap tidak loyal atau tidak koordinatif.
Bagi Dedi Mulyadi polemik ini menguntungkan (politik elektoral) karena Dedi bisa tampil sebagai pemimpin daerah yang berani dan punya integritas. Sikap kerasnya bisa menarik simpati rakyat Jawa Barat yang sering merasa “didominasi pusat.”
Karena dalam politik populis, “melawan teknokrat” seringkali menaikkan legitimasi moral di mata publik.
Penutup
Isu pengendapan dana daerah bukan sekadar soal uang yang tidur di bank, tetapi soal siapa yang berhak menentukan arah uang itu mengalir pusat atau daerah.
Menkeu Purbaya membawa semangat “disiplin fiskal untuk visi Indonesia Emas 2045”, sementara Gubernur Dedi Mulyadi membawa semangat “otonomi yang berdaulat dan berpihak pada rakyat.”
Keduanya benar dalam konteksnya namun benturan antara logika teknokratik dan logika politis inilah yang menjadi wajah nyata dari politik fiskal Indonesia modern. (***)


Tinggalkan Balasan