Oleh: Wawat Kurniawan (Weka Institut)
JAKARTA RAYA – Agen-agen Neolib kini makin merdu senandungnya di negeri Gemah Ripah Loh Jinawi, yang rakyatnya — maaf — lebih pandai menghafal daripada berpikir.
IQ rata-rata 78,2 — cukup untuk tepuk tangan saat dijanjikan “pertumbuhan ekonomi”.
Dan di sela tepuk tangan itu, Roy Suryo dkk. muncul menambah kebisingan nasional.
Yuk kita mulai…
Indeks Naik, Rakyat Melarat
FDI (Foreign direct investment) : Nama Keren dari Penyerahan Kedaulatan Ekonomi
COCOK BUANGET dengan AGENDA AMANDEMEN yang baru saja saya sampaikan
Ex Pejabat dan MENKEU Purbaya, kita bilang :
“Indonesia bisa tumbuh 8% per tahun — asal FDI masuk 70 miliar dolar.”
Kalimat ini terdengar seperti mimpi teknokratik yang manis di kertas PowerPoint, namun di baliknya terselip paradoks klasik negara berkembang:
“Pertumbuhan ekonomi TANPA pertumbuhan kemandirian”.
1. Huruf “I” yang Sebenarnya Bukan “Investasi”, tapi “Ilusi”
Mereka bilang kuncinya adalah Foreign Direct Investment — investasi langsung asing.
Padahal “langsung” di sini TIDAK berarti langsung ke rakyat, tapi langsung KE rekening korporasi GLOBAL yang meminjam wajah Indonesia untuk memutar kapital.
Dalam 10 tahun terakhir, FDI Indonesia stagnan di kisaran US$26–31 miliar,
sementara Singapura menyerap lebih dari setengah total arus modal ke Asia Tenggara.
Lalu muncul tesis teknokrat :
“Kalau kita bisa dapat 70 miliar dolar, pertumbuhan 8% itu bukan mustahil.”
Tentu saja benar — karena 8% itu BUKAN pertumbuhan bangsa, TAPI pertumbuhan neraca ASING di dalam negeri.
2. Singapura Dipercaya, Indonesia Dijual Murah
Singapura dipercaya dunia BUKAN karena mereka menjual sumber daya alam, TAPI karena mereka menjual kepercayaan, hukum, dan kepastian.
Sementara Indonesia, demi mengejar investasi, justru MENJUAL izin tambang, air, hutan, dan buruh MURAH.
Maka jangan heran bila modal datang bukan karena kita kuat, TAPI karena kita LEMAH bos…
Mereka / Asing datang bukan untuk membangun bangsa, TAPI untuk MENYEDOT keuntungan dari bangsa.
3. Amandemen UUD: Pondasi Ekonomi Penjajahan Modern
Rencana pertumbuhan 8% itu sejatinya adalah buah dari amandemen UUD 1945 tahun 2002, yang menggantikan konsep ekonomi gotong royong MENJADI ekonomi pasar bebas.
Pasal 33 yang dulu berbunyi “dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat”
telah digeser menjadi “dikuasai oleh pasar untuk kenyamanan investor.” atau kata lainnya demi DEMOKRASI EKONOMI…
Kini negara hanyalah merek dagang, bukan pemilik pabriknya. Indeks ekonomi naik — tapi hanya di layar Bloomberg, BUKAN DI DAPUR RAKYAT.
Modal asing berputar di sini, namun keuntungannya berputar di luar negeri, minimal PARKIR di Singapore.
4. Kesimpulan: Indonesia, Negara Papan Nama
Maka benarlah apa yang dikatakan banyak ekonom independen:
Kita telah menjadi negara papan nama.
Tulisan “Indonesia” masih terpajang besar, tapi di baliknya perusahaan-perusahaan multinasional sudah menguasai bahan bakar, listrik, pangan, tambang, DAN data.
Jadi benar, pertumbuhan 8% bukan mustahil — asalkan rakyat siap menjadi penonton di tanah sendiri.
WeKa Institut
“Mereka bilang ekonomi tumbuh, padahal yang tumbuh hanyalah saham asing di atas tanah di halaman kita.”


Tinggalkan Balasan