Oleh: Mohammad Fuad – Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Sosial (Puskas)

Khittah NU 1926 secara historis dimaksudkan sebagai landasan etis, organisatoris, dan epistemologis bagi Nahdlatul Ulama. Ia menegaskan NU sebagai jam’iyyah diniyyah ijtimaiyyah ormas keagamaan dan sosial bukan organisasi politik praktis. Namun, dalam dinamika politik kontemporer, tafsir terhadap Khittah sering mengalami distorsi, menciptakan ketegangan antara fungsi spiritual NU dan tarikan politik kekuasaan.

Kesalahpahaman terhadap Khittah 1926 menjadi salah satu penyebab mengapa lembaga seperti PBNU kadang terlihat terlibat dalam arena yang sebenarnya berada di luar mandat khittah, seperti konsesi negara, kemitraan strategis, atau penempatan kader di jabatan publik.

Khittah 1926: Mandat Etis, Bukan Mandat Politik

Secara konseptual, Khittah 1926 memuat tiga fondasi utama:

1. Kemurnian misi keagamaan

NU berfungsi sebagai penjaga tradisi, otoritas keilmuan, dan moderasi.

2. Otonomi ormas dari politik praktis

NU memiliki kebijakan moral publik, tetapi tidak terikat pada partai.

3. Jarak kritis terhadap kekuasaan

NU tidak menjadi alat pemerintah, namun tetap bermitra secara etis.

Oleh karena itu, Khittah bukan berarti anti-politik, tetapi politik nilai, bukan politik kekuasaan.

PKB sebagai Manifestasi Awal Aspirasi Khittah

Pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 1998 dipandang sebagian ulama sebagai:

“penyaluran politik konstitusional warga NU agar PBNU tetap berada di jalur khittah.”

PBNU tetap ormas moral–keagamaan, PKB menjadi kanal politik warga NU, relasi keduanya bersifat sister organization tanpa subordinasi.

Model ini mirip dengan relasi ormas–partai dalam banyak negara demokrasi lain. Dengan demikian, Khittah tidak pernah menolak politik, tetapi ingin agar politik NU terlembaga secara formal dalam PKB, sementara PBNU menjaga otoritas keagamaan dan moral. Melakukan kontrol yang ketat terhadap negara apabila ada nilai nilai yang dilanggar.

Tafsir Keliru Khittah: PBNU sebagai Lembaga Penerima Konsesi

Dalam dua dekade terakhir, muncul fenomena baru:

masuknya PBNU ke ranah ekonomi strategis, kemitraan negara, dan jabatan publik.

Secara akademik, fenomena ini dapat dianggap sebagai bentuk keliru dalam menafsirkan Khittah karena:

a. Khittah dimaknai sebagai “basis moral untuk memperoleh akses negara”

Padahal Khittah bertujuan menjaga jarak kritis, bukan memperkuat akses.

b. NU sebagai ormas dianggap berhak menjadi aktor pembangunan negara

Keterlibatan pada tambang, program pemerintah, atau fasilitas negara dipandang sebagian pihak sebagai “pemberdayaan umat”, tetapi secara struktural menempatkan PBNU pada orbit kekuasaan.

c. Konsesi negara menggeser posisi PBNU dari moral authority menjadi political beneficiary

Perubahan posisi ini rentan menurunkan kredibilitas keulamaan dan memunculkan persepsi bahwa NU ikut dalam logika patronase.

Dampak Struktural: PBNU Menjadi Political Stakeholder yang Bersaing dengan PKB

Alih-alih PKB menjadi kanal utama aspirasi politik warga NU, muncul kecenderungan baru:

PBNU membentuk “gerbong kepentingan politik” sendiri yang beroperasi paralel dengan PKB.

Fenomena ini memunculkan beberapa dampak: Dualisme representasi politik warga NU PKB mewakili warga NU dalam arena elektoral. (***)