JAKARTA RAYA – Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkap dugaan pelanggaran prosedur dalam penetapan royalti nikel terhadap 16 wajib bayar PNBP minerba. Sorotan ini muncul di tengah klaim Kementerian ESDM soal capaian PNBP impresif Rp200,66 triliun per 10 November 2025, atau 78,74 persen dari target APBN.

Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menilai capaian tersebut tak boleh menutupi persoalan serius dalam tata kelola penerimaan sektor nikel.

“Surat pengawasan BPKP tanggal 20 Januari 2025 menjadi lampu merah. Ini tentu menjadi celah buruk terhadap kinerja Menteri ESDM,” kata Iskandar, Kamis (27/11/2025).

Prosedur Dilompati, Tarif Diubah

Iskandar menyebut adanya praktik yang bertentangan dengan regulasi dan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ia menyebut loncatan prosedur itu sebagai “penyakit kronis” PNBP.

“Prosedur dilangkahi, tarif dipaksakan, substansi diubah di tengah jalan,” tegasnya.

Menurut IAW, pemeriksaan awal mengacu pada tarif insentif 2% untuk bijih nikel berorientasi baterai, sesuai aturan PP 26/2022. Namun dalam forum tripartit awal Februari 2025, angka itu tiba-tiba berubah menjadi 10% tanpa mekanisme revisi yang sah.

Padahal, tahapan pemeriksaan telah diatur ketat melalui:

  • PP No. 1/2021
  • Permenkeu No. 12/2022
  • PP No. 26/2022
  • Perpres No. 55/2019

“Aturan ini bukan dekorasi. Mereka menjamin keputusan PNBP punya legitimasi,” ujar Iskandar.

Risiko Fiskal Triliunan Rupiah

IAW mencatat indikasi salah tagih dan salah bayar cukup besar. Dua perusahaan saja disebut menanggung kelebihan bayar lebih dari Rp186 miliar.

“Kalau pola ini terjadi pada puluhan perusahaan lainnya, potensi kerugiannya bisa Rp5–12 triliun per tahun,” ujarnya.

Investor Gamang, Negara Bisa Digugat

Ia menegaskan ancaman tidak hanya terhadap kas negara, tetapi juga daya tarik investasi dan posisi pemerintah dalam sengketa hukum.

“Keputusan cacat prosedur sangat mudah dibatalkan di PTUN. Negara bisa kalah dan malah digugat balik,” ucapnya.

Usulan Jalan Keluar

IAW mendorong penyelesaian elegan melalui:

  • Review independen oleh BPK
  • Pendampingan kuasa hukum pemerintah (Datun Kejagung/Kemenkumham)
  • Tripartit transparan berbasis dokumen legal

Jika tetap buntu, jalur keberatan administratif hingga gugatan PTUN harus ditempuh.

Pesan ke Pemerintah dan Korporasi

Iskandar menekankan transparansi dan konsistensi hukum sebagai fondasi hilirisasi nikel Indonesia.

“Legitimasi tidak lahir dari angka PNBP yang tinggi, tapi dari proses yang jujur dan adil,” katanya.

Sementara bagi perusahaan, IAW meminta keseriusan dalam rekonsiliasi data dan pemenuhan dokumen.

Pada akhirnya, kata Iskandar, persoalan ini menyangkut masa depan tata kelola sumber daya nasional.

“Perbaiki prosesnya dulu, maka substansi yang benar akan berdiri kokoh,” pungkasnya.

Hingga berita ini diturunkan, Kementerian ESDM, BPKP, dan pihak perusahaan terkait belum memberikan tanggapan resmi atas temuan IAW tersebut. (hab)