JAKARTA RAYA, Morotai – Menyelam dengan puluhan hiu sirip hitam yang jinak. Memiliki hamparan 1,6 juta pohon kelapa. Menjadi segitiga tuna terkaya. Ini bukan deskripsi tiga pulau berbeda, melainkan potensi satu pulau: Morotai. Namun, di balik kekayaan yang memukau ini, tersembunyi paradoks yang memilikan: 69% hasil kelapa terbuang sebagai limbah, nelayan hanya jadi “penonton di rumah sendiri”, dan penerbangan ke “Maldives-nya Indonesia” ini hanya sekali seminggu.

Menyikapi ironi ini, pada momentum Hari Bhakti Transmigrasi 2025, Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman Suryanagara, menegaskan komitmen strategis untuk mewujudkan ASTA CITA, khususnya poin “Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian” serta “Membangun Ekonomi yang Adil dan Berkualitas”.

“Pusat pertumbuhan ekonomi baru harus dibangun dari daerah dan wilayah perbatasan yang selama ini belum optimal. Transmigrasi adalah kerangka paling lengkap karena bekerja pada tiga fondasi sekaligus: lahan, manusia, dan produktivitas. Ini bukan sekadar perpindahan penduduk, tapi perpindahan kesejahteraan,” tegas Menteri Iftitah, menegaskan komitmennya terhadap visi ASTA CITA untuk Indonesia yang berdaulat dan berkeadilan.

Paradoks Limbah vs Emas Terbuang: Data yang Mengejutkan

Hasil ekspedisi ilmiah Tim Patriot UI menguak fakta yang sulit dipercaya. Dari 87,2 juta butir kelapa per tahun, hanya 31% dagingnya yang diolah. Sabut, batok, dan air kelapa—sebesar 69%—terbuang percuma, padahal bisa menjadi produk ekspor bernilai miliaran rupiah.

“Ini seperti membuang emas setiap hari. Limbah ini seharusnya jadi serat kelapa untuk industri mewah, briket arang premium, dan nata de coco,” papar Tahmid Bilo, Kepala Dinas Pertanian Morotai, dengan nada prihatin.

Paradoks serupa terjadi di laut. Potensi 2.600 ton tuna per tahun tak bisa diolah optimal karena rantai dingin putus. “Cold storage 450 ton dan pabrik es 35 ton di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) sering mati karena listrik padam,” ungkap ungkap Mahli Aweng Kepala SKPT

“Kami terpaksa ambil es dari jarak 100 km. Hasil tangkapan sering busuk dan jadi reject,” keluh Mukhlis, mantan pengurus koperasi nelayan di Desa Sangowo Timur, menggambarkan betapa rapuhnya infrastruktur dasar.

Wisata Bahari Kelas Dunia yang Terkekang

Potensi lain yang tak kalah gemilang adalah wisata bahari. “Pulau Mitita di Morotai menawarkan pengalaman menyelam dengan kawanan hiu sirip hitam (Blacktip Reef Shark) yang jinak, setara—bahkan lebih autentik—dengan yang ada di Maldives”, ujar Muksin Suleman Kepala Dinas Pariwisata Morotai. “Saya pernah menyelam dengan hiu di Maldives, tapi menyelam di Pulau Mitita jauh lebih unik. Karena kita berinteraksi dan langsung melihat terumbu karang yang sangat indah. Mereka menyambut penyelam dengan anggun, berenang dalam jarak dekat tanpa rasa takut” ujar Rachma Ketua TEP UI Morotai.

“Di sini, penyelam bisa berinteraksi alami dengan 20-30 ekor hiu. Ekosistem karangnya masih sangat sehat, sebuah harta di era perubahan iklim,” ungkap Abdul Karim pengelola Dive Center. Sayangnya, destinasi kelas dunia ini hanya bisa diakses dengan penerbangan sekali seminggu, sebuah kontradiksi untuk daerah yang ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata sejak 2014.

New Transmigrasi 5.0″: Jembatan Antara Visi Dan Realitas Ekonomi

Menjawab kompleksitas tersebut, “New Transmigrasi 5.0” hadir sebagai cetak biru aksi yang terukur. Tidak lagi sekadar konsep, melainkan paket intervensi konkret yang dirancang berbasis data untuk memutus mata rantai paradoks.

“Ini adalah seni memindahkan cara berpikir. Dari mentalitas ekstraktif yang hanya mengambil, menuju etos regeneratif yang memulihkan dan menumbuhkan. Morotai adalah kanvas hidup untuk membuktikan perubahan paradigma ini,” tegas Dr. Rachma Fitriati, Ketua Tim Ekspedisi Patriot UI. Untuk membangun jembatan New Transmigrasi 5.0 di Morotai diperlukan empat pilar utama.

Pertama, penyeimbang Pasar yang Profesional. Pembentukan Perusahaan Umum Daerah (Perusda) Perikanan yang berfungsi sebagai market regulator sekaligus katalisator. Perusda ini akan menjadi penjamin ketersediaan es dan listrik yang stabil, serta membuka akses pemasaran langsung ke pasar global. Hasil tangkapan premium dapat langsung terbang dari Bandara Pitu Morotai ke Jepang hanya dalam 4 jam, memotong seluruh rantai perantara.

Kedua, membangun Ketahanan Energi dan Infrastruktur Dasar. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Hybrid 1-2 MW sebagai tulang punggung energi bersih untuk industri. Dilengkapi dengan dermaga khusus kapal >7 GT berteknologi cold docking, yang mampu memangkas penundaan bongkar muat hingga 4 jam, sehingga kesegaran ikan terjaga sejak dari kapal.

Ketiga, Revolusi Hilirisasi Kelap. Pendirian Pabrik Kelapa Terintegrasi yang dilengkapi dengan Klaster Industri Sirkular. Klaster ini dirancang untuk menyulap 69% limbah kelapa (sabut, batok, air) yang selama ini terbuang, menjadi aneka produk bernilai tambah tinggi seperti serat kelapa, briket arang, dan turunan lainnya, menciptakan lapangan kerja dan sirkular ekonomi lokal.

Keempat, Destinasi Ekowisata Kelas Dunia. Pengembangan Pariwisata Menyelam Premium yang memanfaatkan keajaiban bawah laut Pulau Mitita dengan memberikan pengalaman menyelam bersama Hiu Sirip Hitam (Blacktip Reef Shark) . Pilar ini didukung oleh komitmen meningkatkan konektivitas udara, baik frekuensi penerbangan domestik maupun pembukaan rute internasional langsung, agar “Maldives-nya Indonesia” ini dapat diakses dengan mudah oleh wisatawan mancanegara.

Membangun dari Akar Rumput: Pendidikan dan SDM

Revolusi infrastruktur dan ekonomi harus dibarengi dengan revolusi sumber daya manusia. Tim Patriot UI bersama Pemkab Morotai meluncurkan inisiatif “Goes to School”. “Program ini mengajak anak-anak memahami sejarah, mitigasi bencana, dan potensi daerahnya”, ,” ujar Didik Wahyudi, Kepala SD 1 Daruba.

“Kami ingin membentuk generasi yang cerdas, tangguh, dan bangga jadi orang Morotai. Mereka adalah pemilik masa depan pulau ini,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Morotai, Mauludin Wahab.

Penutup: Morotai, Pelita Harapan dari Timur

Hari Bhakti Transmigrasi 2025 menjadi penanda dimulainya babak baru. “Ketika anak-anak Morotai nanti menyaksikan kapal-kapal membawa hasil olahan orang tua mereka melintasi samudera, sambil menikmati kesejahteraan dari bumi dan laut sendiri, di situlah makna sejati ‘bhakti’ itu terwujud,” pungkas Dr. Rachma Fitriati.

Dari garis depan negeri, dengan data sebagai senjata dan kolaborasi sebagai strategi, New Transmigrasi 5.0 di Morotai bukan lagi wacana. Ia adalah sebuah gerakan nyata membangun Indonesia yang berdaulat, dimulai dari wilayah yang paling membutuhkan. (Hab)