JAKARTA RAYA – Salah satu pendiri sekaligus pemegang saham awal Blue Bird Group, Mintarsih, membongkar dugaan praktik penghilangan saham yang disebutnya dilakukan secara sistematis dan sarat manipulasi hukum. Ia menilai rangkaian peristiwa tersebut mencerminkan tidak berjalannya supremasi hukum dalam sengketa kepemilikan saham perusahaan transportasi besar tersebut.

Mintarsih menjelaskan, sejak awal pendiriannya, Blue Bird dibangun oleh empat kelompok keluarga besar. Namun, seiring waktu, kelompok-kelompok tersebut tersingkir secara bertahap hingga kepemilikan perusahaan terkonsentrasi pada segelintir pihak, yakni keluarga Purnomo, keluarga Chandra, serta Gunawan Surjo Wibowo.

“Saya adalah salah satu pendiri. Tapi saham saya dan kelompok lain perlahan dihilangkan dengan berbagai cara yang tidak sah. Ini bukan sekadar konflik bisnis, tapi persoalan hukum serius,” ujar Mintarsih dalam keterangannya.

Saham Anak Usaha Diduga Digelapkan Sejak 1994

Mintarsih mengungkapkan, pada 1994, saham miliknya di anak usaha PT Blue Bird Taxi diduga digelapkan oleh Purnomo dan Kresna, putra Chandra. Kasus tersebut kemudian digugat melalui Perkara No. 270/PDT.G/2001/PN Jakarta Selatan, yang berujung pada putusan pengadilan agar seluruh saham yang digelapkan dikembalikan kepada Mintarsih.

Namun, menurutnya, putusan pengadilan tersebut tidak menghentikan rangkaian tekanan dan intimidasi.

“Setelah kalah di pengadilan, tekanan justru meningkat. Ada kekerasan fisik, upaya kriminalisasi, hingga intimidasi,” katanya.

Mintarsih menyebut, salah satu insiden adalah dugaan kekerasan fisik terhadap Janti Wirjanto, pemegang saham berusia 74 tahun, yang didukung bukti visum et repertum. Selain itu, ia juga mengaku pernah mengalami upaya penculikan, serta menghadapi sejumlah laporan pidana yang berujung pada surat perintah penangkapan dan penggeledahan.

Manipulasi CV Lestiani hingga PT Ceve Lestiani

Setelah tekanan fisik dan pidana dinilai tidak berhasil, Mintarsih menilai skenario penghilangan saham beralih ke kepemilikan 15 persen saham PT Blue Bird Taxi melalui penguasaan CV Lestiani, badan usaha yang tercatat sebagai pemegang saham.

Ia menjelaskan, pengunduran dirinya sebagai pengurus/direksi CV Lestiani pada 2001, yang telah disetujui secara tertulis oleh Purnomo dan Chandra, kemudian dimanipulasi seolah-olah sebagai pengunduran diri dari kepemilikan saham.

“Pengunduran diri saya sebagai pengurus dipelintir menjadi pengunduran diri sebagai pemegang saham. Ini manipulasi terang-terangan,” ujar Mintarsih.

Akta perubahan yang dibuat tanpa kehadirannya dinilai cacat hukum dan tidak pernah dilegalisasi oleh Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini ditegaskan dalam surat resmi PN Jakarta Pusat tertanggal 9 Desember 2013, yang menyatakan tidak ada perubahan sah terhadap status CV Lestiani.

Upaya lain dilakukan dengan mendirikan PT Ceve Lestiani pada 2002, yang kemudian diduga secara keliru diposisikan sebagai peningkatan status CV Lestiani. Padahal, menurut Mintarsih, tidak pernah ada proses hukum yang sah untuk pengalihan tersebut.

“CV Lestiani tidak pernah berubah. Tapi dipaksakan seolah-olah sudah menjadi PT Ceve Lestiani agar saham saya hilang,” tegasnya.

Daftar Pemegang Saham Dipersoalkan

Mintarsih juga menyoroti penyusunan Daftar Pemegang Saham PT Blue Bird Taxi tahun 2013 yang hanya dibuat oleh satu direksi tanpa RUPS dan tanpa persetujuan dirinya sebagai sesama direktur.

Daftar tersebut kemudian digunakan dalam RUPS untuk menetapkan susunan pemegang saham baru, meski tidak didukung akta pemindahan saham sebagaimana diwajibkan UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.

“Tidak pernah ada akta pemindahan saham. Tapi saham bisa berubah hanya karena disebut disetujui 100 persen dalam RUPS. Kalau ini dibiarkan, hukum jadi formalitas belaka,” ujarnya.

Dampak Lebih Luas

Mintarsih menilai praktik tersebut berdampak luas terhadap industri transportasi nasional. Ia menyebut, lebih dari 40 perusahaan taksi lokal akhirnya tersingkir atau bangkrut, sementara kepemilikan perusahaan beralih ke investor asing.

“Kalau praktik seperti ini dibiarkan, siapa pun bisa kehilangan sahamnya, cukup dengan rekayasa dokumen dan suara bulat di RUPS,” kata Mintarsih.

Ia menegaskan akan terus memperjuangkan haknya dan membuka fakta-fakta lanjutan terkait dugaan pengalihan aset dan saham PT Blue Bird Tbk yang disebutnya jauh lebih besar dan sistematis. (hab)