Oleh: Dahlan Muhammad
Nama Budi Arie Setiadi kembali mencuat, bukan dalam kapasitasnya sebagai Menteri Koperasi, melainkan karena disebut dalam dakwaan kasus judi online yang mengguncang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) — kementerian yang pernah ia pimpin.
Dalam dakwaan jaksa yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Budi Arie disebut sebagai salah satu pihak yang menerima “jatah” hingga 50 persen dari komisi pengamanan situs-situs judi online agar tak diblokir. Komisi yang diduga berasal dari praktik kotor oknum dalam tubuh Kominfo ini seolah menyingkap praktik “tuyul digital” — akun-akun siluman yang bekerja di balik layar, menghisap keuntungan dari ruang digital gelap, dan lolos dari pengawasan negara.
Isu ini bukan hanya menyentuh soal hukum, tetapi menyentuh jantung integritas pemerintahan digital. Ketika situs-situs ilegal bisa hidup dan berkembang di bawah hidung lembaga negara yang dibekali alat pemutus akses tercanggih, wajar bila publik bertanya: apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa bisa sedemikian leluasa?
Lebih dari itu, mengapa nama Budi Arie, yang disebut menerima bagian komisi paling besar, tidak langsung diproses secara terbuka dan transparan?
Mantan Menkopolhukam Mahfud MD pun pernah mengangkat suara. Ia menyebut “aneh” jika Budi Arie tak tersentuh pemeriksaan, mengingat skandal bekingan situs judi online justru mengakar saat ia menjabat sebagai Menkominfo. Kita berbicara tentang tanggung jawab jabatan publik — bukan sekadar siapa yang menandatangani, tetapi siapa yang memungkinkan sistem busuk itu terjadi.
Budi Arie memang telah membantah semua tuduhan. Ia menyatakan tidak pernah membuat kesepakatan, tidak menerima aliran dana, bahkan tidak melibatkan stafnya. Ia hadir di Bareskrim untuk memberikan keterangan dan kini menjalankan tugas negara ke Vatikan. Namun, pembelaan personal tidak cukup untuk menyingkirkan keraguan publik, apalagi ketika dakwaan hukum sudah menyebut namanya secara eksplisit.
Ini adalah ujian serius bagi pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Sebuah peluang untuk menunjukkan ketegasan: bahwa hukum tidak tebang pilih, bahwa komitmen memberantas judi online dan korupsi bukan sekadar jargon kampanye. Jika ada elite yang terlibat, proseslah secara adil dan terbuka. Sebab kekuasaan yang mengabaikan akuntabilitas hanya akan menambah kelam sejarah negeri ini.
Kasus ini juga mencerminkan kegagalan tata kelola digital kita. Dalam era disrupsi, kepercayaan publik terhadap institusi digital negara tak bisa dibangun dengan narasi semata, tapi dengan tindakan nyata: bersih-bersih internal, audit sistem pengawasan, dan penegakan hukum sampai ke akar.
“Tuyul” digital mungkin tak kasat mata. Tapi jangan biarkan hukum menjadi sama halus dan menguapnya. Jika benar Budi Arie tak bersalah, biarlah pengadilan membuktikan. Namun jika ada jejak keterlibatan, negara tak boleh menoleh ke arah lain.
Ini bukan soal Budi Arie semata. Ini soal pesan: bahwa siapa pun yang bermain di balik layar ruang digital ilegal, sekecil apa pun perannya, harus siap mempertanggungjawabkannya. (***)
Tinggalkan Balasan