Oleh: Mohamad Fuad, Direktur eksekutif Pusat kajian kebijakan publik dan sosial (Puskas)

JAKARTA RAYA – Penunjukan Letjen (Purn) Djaka Budhi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Di satu sisi, publik menaruh harapan pada kepemimpinan baru yang dinilai dapat membawa disiplin dan efisiensi. Namun, di sisi lain, penunjukan ini menambah daftar panjang masuknya unsur militer ke dalam jabatan sipil di era pemerintahan Prabowo-Gibran.

Kebijakan pemerintah yang membuka ruang lebih besar bagi militer di sektor sipil, termasuk usulan revisi Undang-Undang TNI, telah memicu kekhawatiran publik. Sejumlah pengamat menilai, tren ini mengingatkan pada praktik di masa Orde Baru, ketika militer memiliki peran dominan dalam urusan sipil.

Tantangan di Bea Cukai

Bea Cukai sendiri menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan pembenahan sistemik. Masalah umum seperti kurangnya pemahaman importir terhadap prosedur kepabeanan, perbedaan nilai referensi barang, kerusakan barang selama pemeriksaan fisik, hingga praktik under-invoicing menjadi pekerjaan rumah yang tidak sederhana.

Meski demikian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah melakukan berbagai upaya, termasuk meningkatkan edukasi publik dan membuka saluran kritik dari masyarakat.

Kelebihan dan Risiko Kepemimpinan Militer

Kepemimpinan militer membawa beberapa nilai positif seperti ketegasan, ketertiban, dan pengalaman dalam pengamanan wilayah perbatasan—suatu hal yang krusial dalam mencegah penyelundupan dan praktik ilegal lintas negara. Disiplin dan kemampuan dalam menjalankan sistem komando juga berpotensi mempercepat reformasi internal Bea Cukai.

Namun, sejumlah pihak menyoroti risiko yang menyertai. Praktik militeristik dikhawatirkan akan mengurangi transparansi, mengancam kebebasan sipil, serta meningkatkan potensi penyalahgunaan wewenang. Terlebih, jika pendekatan kekuasaan lebih mengedepankan penindakan ketimbang pembinaan dan edukasi.

Tetap Menjaga Prinsip Sipil

Dalam konteks demokrasi, penguatan institusi seperti Bea Cukai seharusnya dilakukan dengan menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi. Penempatan personel militer di jabatan strategis sipil, seperti di Bea Cukai, mesti dibarengi dengan pengawasan ketat serta kejelasan batasan kewenangan.

Pengalaman militer dapat menjadi aset, namun sistem harus dirancang agar tetap berpihak pada kepentingan publik, menghormati hak-hak masyarakat, dan mendorong tata kelola yang bersih dan profesional. (***)