Oleh: Ir. Effendy Sianipar – Ketua Asosiasi Pengusaha Pengadaan Barang dan Jasa Indonesia (ASPANJI)
Presiden telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2025 tentang percepatan pembangunan, peningkatan, rehabilitasi, serta operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi sebagai bagian dari upaya besar mewujudkan swasembada pangan nasional.
Namun, terdapat satu klausul yang patut dicermati: penunjukan langsung Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pelaksana proyek, tanpa melalui proses pengadaan terbuka. Klausul ini justru menyulut persoalan lama yang berpotensi menghambat demokratisasi ekonomi dan memunculkan praktik monopoli terselubung dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Infrastruktur Bukan Milik Segelintir
Tak diragukan, infrastruktur adalah fondasi peradaban dan pendorong utama produktivitas ekonomi. Namun dalam praktiknya, pembangunan infrastruktur tidak boleh menjadi hak istimewa segelintir pelaku usaha – dalam hal ini BUMN Karya – semata.
Dengan utang yang telah mencapai Rp181 triliun, sebagian besar BUMN Karya kini mengalami tekanan finansial yang berat, bahkan oleh sebagian anggota DPR disebut sebagai “BUMN Zombie”. Ironisnya, melalui Inpres No. 2/2025, mereka justru diberi keistimewaan untuk terus mengerjakan proyek-proyek infrastruktur melalui mekanisme penunjukan langsung.
Padahal, sebagian dari BUMN ini memiliki utang yang belum terselesaikan kepada para pelaku usaha swasta – termasuk anggota ASPANJI – yang telah berkontribusi dalam proyek-proyek sebelumnya. Bagaimana bisa kita membangun etika bisnis, jika hak pelaku usaha non-BUMN justru terpinggirkan?
Demokrasi Ekonomi Terancam
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara tegas menjamin iklim usaha yang adil dan kompetitif. Dalam kerangka demokrasi ekonomi, setiap pelaku usaha – baik kecil, menengah, maupun besar – memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengakses pasar, termasuk pasar pengadaan pemerintah.
Ketika penunjukan langsung hanya difokuskan kepada BUMN Karya, maka ini jelas bertentangan dengan semangat UU tersebut. Apakah kita rela membiarkan pembangunan nasional dikuasai oleh entitas yang justru tidak sehat secara finansial dan lemah secara tata kelola?
ASPANJI Siap Terlibat
ASPANJI, sebagai asosiasi yang menaungi ribuan pelaku usaha jasa konstruksi dan pengadaan di berbagai pelosok Tanah Air, memandang perlu adanya pelibatan langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan program strategis nasional seperti yang tertuang dalam Inpres No. 2/2025.
Kami bukan hanya siap bersaing secara sehat, tetapi juga ingin menjadi bagian dari solusi untuk mewujudkan target Indonesia Emas 2045, termasuk peningkatan produktivitas petani, efisiensi pertanian, dan penguatan ketahanan pangan nasional.
Pembangunan irigasi memang penting, tetapi harus dilakukan secara inklusif. Kami percaya, kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan pelaku usaha swasta akan lebih efektif mendorong pencapaian swasembada pangan yang berkelanjutan.
Saatnya Menata Ulang
BAPENAS, Kementerian PUPR, dan Kementerian Pertanian sebagai pemangku kebijakan utama dalam pelaksanaan Inpres ini, perlu membuka ruang partisipasi seluas-luasnya bagi asosiasi seperti ASPANJI. Keterlibatan kami bukan hanya legal, tetapi juga logis dan etis dalam membangun masa depan pertanian Indonesia.
Membangun infrastruktur tanpa membangun etika bisnis yang sehat hanya akan menciptakan struktur ekonomi yang timpang dan tidak berkelanjutan. (***)
Tinggalkan Balasan