Oleh: Mohamad Fuad – Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Sosial (PUSKAS)

Perjanjian Renville tahun 1948 menjadi salah satu babak penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Perjanjian yang dimediasi Komisi Tiga Negara (KTN) itu ditolak oleh Nahdlatul Ulama (NU) karena dianggap merugikan bangsa. NU menilai isi perjanjian mempersempit wilayah Republik Indonesia, melemahkan kedaulatan, dan memberi keuntungan strategis kepada Belanda.

Sikap kritis NU saat itu memberikan tekanan moral kepada pemerintah Soekarno-Hatta. NU tampil lebih dekat dengan aspirasi rakyat dan pejuang di lapangan. Penolakan terhadap Renville sekaligus menegaskan peran NU tidak hanya sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga kekuatan politik. Momentum inilah yang kemudian mendorong lahirnya Partai NU pada 1952 setelah keluar dari Masyumi.

Sejarah itu memberi pelajaran berharga: NU tetap setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia meski berbeda sikap dengan pemerintah. Loyalitas kepada NKRI tidak harus berarti menelan mentah-mentah setiap keputusan politik penguasa.

NU-PKB dalam Era Prabowo

Kemenangan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden membawa babak baru dalam politik nasional. Di tengah situasi ini, NU melalui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memikul tanggung jawab moral sekaligus politik.

PKB, sebagai partai yang lahir dari rahim NU, mengemban dua fungsi: memperjuangkan aspirasi politik warga nahdliyyin dan ikut menentukan arah kebijakan negara. PKB perlu mendukung kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat, seperti pemberantasan korupsi, ketahanan pangan, pemberdayaan desa, penegakan hukum yang profesional, dan penguatan pesantren.

Namun, PKB juga dituntut berani mengkritik jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat kecil, termasuk isu demokrasi, lingkungan, penegakan hukum, serta kebebasan sipil. PKB tidak boleh terjebak sebagai “partai koalisi” yang hanya mengejar kursi kekuasaan, melainkan tampil dengan identitas politik yang jelas: berpihak pada kaum mustadh’afin.

Peran PBNU

PBNU memiliki tugas berbeda tetapi saling melengkapi. Sebagai ormas keagamaan, PBNU tidak boleh larut dalam pragmatisme politik. PBNU harus berperan sebagai penjaga nilai moral bangsa, memastikan kebijakan negara selaras dengan keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan umat.

NU juga memiliki tanggung jawab menjaga harmoni sosial, mengedepankan Islam rahmatan lil ‘alamin, dan meredam potensi konflik akibat perbedaan politik. Dengan atau tanpa dukungan pemerintah, PBNU tetap harus berperan aktif dalam pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya.

Tiga Prinsip Utama

Agar relasi NU-PKB dengan pemerintahan Prabowo tetap sehat dan bermanfaat, ada tiga prinsip yang perlu dipegang:

  1. Kritik konstruktif – mengoreksi kebijakan yang keliru tanpa harus menjadi oposisi total.
  2. Partisipasi aktif – ikut dalam pembangunan melalui pemberdayaan desa, pesantren, ekonomi kerakyatan, dan penegakan hukum yang adil.
  3. Menjaga kemandirian organisasi – PBNU dan PKB tidak boleh larut dalam kepentingan kekuasaan semata agar tetap dipercaya umat.

Penutup

Belajar dari sikap NU dalam Perjanjian Renville, NU dan PKB di era Prabowo harus mengawal pemerintahan agar bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. NU-PKB dituntut tidak hanya menjadi penonton, tetapi benar-benar penentu arah bangsa. Loyalitas kepada negara bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan memperkuat peran sebagai penjaga moral, keadilan, dan suara rakyat kecil. (***)