Oleh: Mohamad Fuad (Analis Pusat Studi Kebijakan dan Sosial)

Setelah transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto Prabowo Subianto dinamika politik Indonesia memasuki babak baru sebuah babak di mana kebijakan masa lalu tidak lagi menjadi warisan, tetapi menjadi beban sejarah.

Di balik senyum transisi dan narasi “kelanjutan pembangunan”, tersimpan ketegangan laten antara kepentingan lama dan ambisi baru.

Era Jokowi dikenal dengan berbagai kebijakan ekonomi strategis dan proyek infrastruktur raksasa yang menelan dana triliunan rupiah dari proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), pengelolaan tambang nikel, hingga kebijakan gas dan energi.

Namun, sebagian kebijakan itu kini mulai dipertanyakan, baik dari sisi hukum, transparansi, maupun manfaat publiknya. Banyak proyek besar di masa Jokowi terindikasi berpotensi bermasalah secara yuridis: mulai dari penyalahgunaan kewenangan BUMN, tata kelola sumber daya alam, hingga dugaan pelanggaran dalam tender dan investasi asing.

Sementara itu, Prabowo datang bukan sekadar sebagai penerus, tapi sebagai pengendali baru. Ia membawa arah kebijakan yang cenderung nasionalistik-militeristik, ingin menata ulang tata kelola negara dengan prinsip “kedaulatan dan ketahanan nasional.” Di sinilah pertarungan kepentingan mulai terlihat jelas.

Prabowo butuh legitimasi politik dan hukum yang bersih untuk mengokohkan pemerintahannya, sedangkan warisan kebijakan Jokowi justru menyimpan potensi “ranjau hukum” yang bisa meledak kapan saja.

Di lingkar kekuasaan, faksi-faksi politik mulai terbelah:

Faksi Jokowi berusaha menjaga kebijakan lama agar tidak dibongkar, terutama proyek dan kontrak yang melibatkan jaringan bisnis keluarga dan kroni politik.

Faksi Prabowo, sebaliknya, mulai melakukan evaluasi senyap terhadap kebijakan yang dianggap membahayakan stabilitas negara dan citra pemerintahan baru.

Ketegangan ini tidak hanya terjadi di level eksekutif, tetapi juga merembes ke lembaga penegak hukum, BUMN, bahkan ke parlemen. Di tubuh KPK dan Kejaksaan Agung, mulai muncul tekanan antara menjaga kontinuitas atau menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Bagi publik, benturan dua kepentingan ini bisa menjadi momen pembuktian politik nasional: apakah hukum benar-benar bisa berdiri di atas kekuasaan, atau kekuasaan tetap menjadi panglima yang menentukan arah hukum.

Namun satu hal pasti era Jokowi meninggalkan jejak kebijakan yang kompleks dan penuh simpul kepentingan dan pelanggaran ada dimana mana, sedangkan era Prabowo datang dengan semangat merapikan kekacauan yang ditinggalkan jokowi dalam bingkai nasionalisme dan keadilan.

Pertanyaannya adalah apakah Prabowo berani membuka kotak pandora masa lalu, atau ia justru akan menutupnya rapat demi stabilitas politiknya sendiri? (***)