JAKARTA RAYA – Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) resmi melarang pemberian tantiem dan insentif berbasis kinerja kepada anggota Dewan Komisaris BUMN dan anak usaha. Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran S-063/DI-BP/VII/2025, mulai berlaku untuk tahun buku 2025.

Larangan ini mencakup insentif kinerja, insentif khusus, dan insentif jangka panjang. Tujuannya adalah untuk menerapkan standar tata kelola perusahaan yang baik, sejajar dengan praktik nasional dan internasional.

Sementara itu, anggota Direksi BUMN dan anak usaha tetap bisa menerima tantiem dan insentif, asalkan berbasis pada laporan keuangan yang benar dan transparan, serta mencerminkan kinerja usaha berkelanjutan—bukan hasil manipulasi laporan atau pengakuan laba semu.

“Setiap kompensasi bagi direksi harus mencerminkan kondisi riil perusahaan. Tidak boleh berbasis hasil ‘one-off’ seperti penjualan aset atau revaluasi nilai,” bunyi salah satu butir aturan tersebut.

CEO Danantara Rosan Roeslani menyatakan bahwa kebijakan ini mengikuti praktik terbaik global, di mana komisaris tidak menerima kompensasi berbasis kinerja demi menghindari konflik kepentingan.

“Penataan ini merupakan upaya menyeluruh untuk menciptakan sistem insentif yang adil dan akuntabel. Fokusnya adalah kontribusi nyata terhadap pengawasan dan tata kelola,” ujarnya.

Langkah ini dinilai sebagai bagian dari agenda besar Danantara untuk memperkuat akuntabilitas dan efisiensi pengelolaan BUMN.

Kebijakan tersebut menuai kritik dari Denny Januar Ali (Denny JA), Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi. Ia menyebut keputusan itu sebagai bentuk pemaksaan standar asing yang tidak selaras dengan sistem tata kelola BUMN Indonesia, yang menganut two-tier board system.

“Ini seperti memaksakan arsitektur asing ke rumah yang tanahnya berbeda. Komisaris BUMN kita bekerja aktif, ikut dalam audit, risiko, ESG, dan punya beban tanggung jawab yang berat,” tulisnya.

Menurut Denny, pelarangan tantiem dapat menurunkan efektivitas pengawasan dan menyuburkan seleksi negatif: hanya menarik pihak yang tidak dibutuhkan sektor lain atau yang sekadar mencari jabatan.

Ia juga mengingatkan potensi “perlawanan diam” dari para komisaris, yang bisa lebih berbahaya daripada kritik terbuka.

Denny JA mengusulkan agar kebijakan ini dievaluasi ulang, melibatkan akademisi, praktisi, dan pakar hukum tata kelola. Ia juga menyarankan pendekatan insentif berbasis KPI kelembagaan, bukan individual, serta melibatkan KPK dan masyarakat sipil untuk merancang sistem insentif yang adil dan kontekstual.

“Organisasi dibangun atas dasar kepercayaan. Bila kerja keras tidak dihargai, maka loyalitas akan terkikis. Dan loyalitas yang hilang tak bisa dibeli dengan regulasi,” pungkasnya. (hab)