JAKARTA RAYA – Sejumlah komisioner Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Perjuangan (KTKI-P) melaporkan dugaan maladministrasi terkait proses keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 69/M/2024 di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg). Laporan tersebut disampaikan ke Ombudsman Republik Indonesia, yang menyoroti adanya dugaan pelanggaran asas keterbukaan, akuntabilitas, dan kepatutan dalam prosedur pengangkatan anggota Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).

KTKI-P Minta Klarifikasi Kepres 69/M/2024

Rahmaniwati, komisioner KTKI-P yang juga pensiunan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), menegaskan bahwa Keppres tersebut berpotensi melanggar asas keterbukaan, yang seharusnya menjadi bagian penting dalam proses seleksi. “Kami meminta klarifikasi terkait keluarnya Keppres 69/M/2024 melalui Ombudsman sebagai dugaan maladministrasi,” ujarnya. Rahmaniwati juga mempertanyakan mengapa surat nomor KM.04.01/Menkes/690/2024 yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan pada 30 September 2024 dijadikan dasar untuk Keppres ini. Surat tersebut mengusulkan pemberhentian anggota Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil masing-masing tenaga kesehatan, namun pengumuman tentang nama-nama calon anggota KKI yang lulus seleksi tidak pernah dipublikasikan, meskipun sudah ada pengumuman seleksi pada tanggal tersebut.

Tantangan terhadap Legalitas Surat Menteri Kesehatan

Tri Moedji Hartiningsih, komisioner KTKI, menyatakan bahwa Kemensesneg seharusnya lebih cermat dalam menilai apakah surat Menteri Kesehatan tersebut dapat dijadikan dasar hukum yang sah. “Apakah jumlah calon yang diusulkan sesuai dengan ketentuan, yakni dua kali lipat dari jumlah kebutuhan, sebagaimana diatur dalam PMK No. 12/2024 Pasal 13?” kata Tri Moedji. Menurutnya, surat tersebut seharusnya tidak dijadikan dasar pengangkatan tanpa verifikasi yang lebih mendalam.

Masalah Batas Usia PNS dalam Penunjukan Anggota KKI

Akhsin Munawar, komisioner KTKI yang datang langsung dari Jambi, mengungkapkan bahwa tiga anggota yang dipilih mewakili unsur pemerintah ternyata memiliki masalah terkait batas usia Pegawai Negeri Sipil (PNS). Salah satu di antaranya, yaitu Ketua KKI yang tercatat dalam Keppres 69/M/2024, sudah pensiun per 1 Oktober 2024. “Sesuai peraturan, seseorang yang sudah pensiun tidak lagi bisa mewakili unsur pemerintah,” ujar Akhsin. Dua anggota lainnya juga berusia lebih dari 60 tahun dan akan memasuki usia pensiun dalam waktu dekat, padahal masa tugas KKI adalah empat tahun. Hal ini, menurut Akhsin, menunjukkan adanya kelalaian dalam melakukan telaah usia pegawai oleh Kemensesneg sebelum meminta Presiden untuk menandatangani Keppres tersebut.

Dugaan Maladministrasi dan Kewajiban Pergantian Antar Waktu (PAW)

Muhammad Jufri Sade, komisioner KTKI lainnya, menambahkan bahwa penunjukan Ketua KKI yang sudah pensiun bisa jadi melanggar aturan. “Berdasarkan Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 3 Tahun 2020, seharusnya penunjukan Ketua KKI dari unsur pemerintah yang sudah pensiun ini bisa dianggap sebagai maladministrasi,” ujarnya. Sade juga mencatat bahwa dua anggota lainnya akan memasuki usia pensiun 65 tahun selama masa jabatan mereka, yang berpotensi menimbulkan masalah etika dan administratif terkait Pergantian Antar Waktu (PAW).

Isu Rangkap Jabatan pada Pimpinan KKI

Ismail, komisioner KTKI, juga mempertanyakan dugaan rangkap jabatan pada salah satu pimpinan KKI yang masih menjabat sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lampung. “Sebagai pejabat negara, seharusnya dia memberikan contoh yang baik dengan tidak rangkap jabatan,” kata Ismail. Ia menambahkan bahwa jika pimpinan KKI masih berstatus sebagai PNS, seharusnya mereka sudah mengundurkan diri dari jabatan tersebut.

Pelanggaran Asas Kepatutan dan Akuntabilitas

Agus Budi Prasetyo, komisioner KTKI, juga menyoroti dugaan pelanggaran asas kepatutan dan akuntabilitas dalam penetapan Ketua KKI dalam Keppres 69/M/2024. “Penunjukan Ketua yang sudah pensiun serta penetapan struktur pimpinan yang tidak mencerminkan asas kolektif kolegial dalam lembaga non-struktural juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian prosedur,” kata Agus. Menurutnya, dalam Keppres 31/M/2022, yang menjadi dasar bagi KTKI sebelumnya, lebih menekankan pada prinsip kolektif kolegial.

Harapan KTKI-P kepada Ombudsman

Rachma, komisioner KTKI yang juga dosen Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia, menegaskan harapannya agar Ombudsman menggunakan wewenangnya untuk menyarankan perbaikan dalam prosedur pengangkatan pimpinan KKI yang dinilai tidak transparan. “Kami berharap Ombudsman dapat memberikan saran kepada Presiden atau pimpinan penyelenggara negara lainnya untuk memperbaiki prosedur pelayanan publik agar proses pengangkatan pejabat publik lebih mengacu pada prinsip good governance,” ujar Rachma.

Ia juga berharap Ombudsman dapat menyarankan kepada DPR dan Presiden untuk menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait keluarnya Keppres untuk lembaga non-struktural (LNS) guna mencegah maladministrasi di masa depan. (hab)