Oleh: Rd. Yudi Anton Rikmadani, Dosen STIH Prof Gayus Lumbuun

Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) seharusnya menjadi akhir dari sebuah perkara dan awal dari pemulihan hak bagi pihak yang dimenangkan. Namun, realitasnya tidak selalu demikian. Seperti kasus Putusan MA Nomor 287 K/Pid/2019 dalam perkara Silfester Matutina, jaksa sebagai eksekutor justru lalai atau lamban melaksanakan eksekusi.

Kelalaian ini bukan perkara teknis, melainkan pelanggaran prinsip terhadap asas kepastian hukum dan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman). Penundaan eksekusi, apalagi tanpa alasan yuridis yang sah, adalah bentuk undue delay yang dalam perspektif UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI termasuk kategori maladministrasi.

Dari perspektif hukum pidana, kelalaian yang disengaja atau bermotif tertentu dapat memenuhi unsur Pasal 421 KUHP penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat. Sementara dari perspektif hukum administrasi negara, ini adalah kegagalan menjalankan kewajiban hukum yang bersifat imperatif, sehingga dapat digugat sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

Kelalaian ini bukan sekadar keterlambatan administratif, melainkan bentuk pengingkaran terhadap kepastian hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 270 KUHAP telah jelas: “Pelaksanaan putusan pengadilan… dilakukan oleh jaksa”. Artinya, jaksa tidak punya ruang untuk beralasan atau menunda tanpa dasar hukum yang sah.

Penundaan eksekusi berarti mengabaikan hak korban, merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, dan memberi ruang bagi impunitas. Lebih dari itu, kelalaian ini dapat dikategorikan sebagai maladministrasi, bahkan delik jabatan jika dilakukan dengan kesengajaan atau motif tertentu. Keadilan tidak cukup diputuskan di pengadilan ia harus dilaksanakan. Jaksa adalah garda terakhir untuk memastikan putusan bukan sekadar kertas bertinta, tetapi menjadi kenyataan yang dirasakan masyarakat.

Jika jaksa lalai, negara harus tegas: periksa, tindak, dan bersihkan. Sebab, membiarkan kelalaian berarti membiarkan hukum kehilangan wibawanya. Dan ketika hukum kehilangan wibawa, yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa moral. Dalam paradigma hukum progresif yang diperkenalkan Satjipto Rahardjo, hukum bukan sekadar teks, melainkan sarana untuk mencapai keadilan substantif. Jika putusan pengadilan berhenti pada kertas dan tinta, tanpa pelaksanaan nyata, maka yang hilang bukan hanya kepastian hukum, tetapi juga makna keadilan itu sendiri.

Oleh karena itu, kelalaian jaksa dalam melaksanakan eksekusi putusan pengadilan yang telah inkracht bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan dapat menjadi pelanggaran hukum, etik, dan prinsip konstitusional. Penegakan hukum terhadap kelalaian jaksa harus dipandang sebagai kegagalan negara yang tidak boleh dibiarkan.

Mekanisme pengawasan internal di Kejaksaan, Komisi Kejaksaan, bahkan Ombudsman harus diaktifkan. Publik berhak tahu dan berhak menuntut akuntabilitas. Sebab, tanpa eksekusi, seluruh proses hukum hanyalah sandiwara prosedural yang mengkhianati mandat konstitusi.

Keadilan bukan hanya diputuskan ia harus diwujudkan. Jaksa sebagai eksekutor putusan, memegang kunci apakah hukum akan menjadi alat keadilan atau sekadar ornamen negara hukum yang retak. (***)