JAKARTA RAYA – Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, Ir. R. Haidar Alwi, MT, menilai pemberitaan negatif terhadap Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad sebagai bagian dari upaya sistematis untuk merusak reputasi pribadi dan menggoyang struktur kekuasaan Presiden terpilih Prabowo Subianto dari sisi internal.

Menurut Haidar, narasi yang dibangun Tempo terkait dugaan keterlibatan Dasco dalam bisnis judi online di luar negeri tidak mencerminkan jurnalisme investigatif yang sehat. Ia menyebut laporan tersebut sebagai rekayasa informasi yang mengabaikan asas praduga tak bersalah dan menyalahi prinsip etika pers.

“Pemberitaan itu tidak berdiri di atas bukti konkret, hanya asosiasi longgar dari hubungan bisnis lama. Ini rentan ditunggangi kepentingan politik yang ingin menjatuhkan,” ujar Haidar, Senin (7/4/2025).

Ia menjelaskan, kerja sama bisnis Dasco saat menjabat sebagai Komisaris di MNC Digital dengan perusahaan properti di Kamboja tidak serta-merta dapat dikaitkan dengan aktivitas ilegal, apalagi tanpa bukti keterlibatan personal. Dalam konteks global, hubungan bisnis lintas negara melibatkan banyak pihak dan tidak semua bertanggung jawab atas aktivitas di luar kesepakatan formal.

“Tempo hanya menyambungkan titik-titik yang tidak relevan lalu membungkusnya dengan narasi investigatif. Tidak ada bukti pelanggaran hukum. Ini bukan investigasi, ini framing,” tegasnya.

Haidar juga mempertanyakan mengapa isu ini mencuat saat konsolidasi kekuasaan Presiden Prabowo tengah berlangsung, termasuk revisi UU TNI yang didorong Dasco di parlemen.

“Ini bukan kasus tunggal. Ini bagian dari upaya melemahkan loyalitas di sekitar Presiden. Ketika tokoh strategis seperti Dasco diserang lewat isu moral, pesan yang dikirim adalah: siapa pun bisa dijatuhkan,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa serangan semacam ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Jika media mulai mengabaikan integritas demi kepentingan opini atau pesanan politik, maka kepercayaan publik akan media perlahan runtuh.

“Pers adalah pilar demokrasi. Tapi ketika digunakan untuk membunuh karakter tanpa dasar hukum, maka kita sedang menghadapi krisis etika,” lanjut Haidar.

Ia juga menyoroti pola pemberitaan Tempo yang dinilainya tendensius: mencampurkan nama, jabatan, dan afiliasi bisnis dalam satu narasi yang berkesan gelap tanpa memperjelas posisi hukum atau peran aktif tokoh yang diserang. Menurutnya, itu adalah teknik pembentukan persepsi negatif yang kerap digunakan untuk merusak reputasi tokoh secara sistematis.

“Yang dicari bukan keadilan, tapi keraguan publik. Fakta tak lagi penting selama opini bisa diarahkan,” tandasnya.

Sebagai tokoh nasional yang vokal menyuarakan solidaritas kebangsaan, Haidar mengajak publik untuk lebih kritis dalam mencerna informasi, terutama yang menyangkut tokoh strategis di lingkar kekuasaan.

“Publik perlu bertanya: siapa yang diuntungkan dari narasi ini? Apa motif di balik waktunya? Ini bukan soal kebenaran, tapi perebutan pengaruh,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Haidar menegaskan bahwa yang dipertaruhkan bukan sekadar nama baik Sufmi Dasco Ahmad, melainkan masa depan etika politik dan independensi media.

“Ini ujian bagi keberanian kita menegakkan kebenaran di tengah badai opini. Kalau tokoh negara bisa dihancurkan hanya lewat dugaan, maka siapa pun bisa jadi korban berikutnya,” pungkas Haidar. (hab)