Oleh: Prof.Dr. Muhammad M Said, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IKA PPSA 23 LEMHANNAS RI

Keadilan adalah hak asasi setiap warga negara yang tidak boleh dikekang oleh kekuasaan, status sosial, atau kekuatan ekonomi. Menghalangi akses terhadap keadilan adalah bentuk penjajahan modern yang bertentangan dengan semangat konstitusi UUD 1945. Dalam sistem hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum, hakim agung ditempatkan sebagai benteng terakhir keadilan, pemutus perkara akhir, dan simbol keyakinan publik terhadap negara hukum.

Namun simbol tersebut kini goyah.

Belum lama ini, publik dikejutkan dengan penangkapan seorang hakim agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan eksistensial: masihkah kita bisa percaya pada “Yang Mulia”?

Sebagai aktor tertinggi dalam struktur peradilan, runtuhnya integritas Mahkamah Agung menjadi sinyal bahwa sistem keadilan kita sedang berada dalam krisis. Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada akhir 2023 mencatat turunnya kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung dari 68% (2020) menjadi hanya 42%.

Moralitas Hukum Runtuh, Ekonomi pun Tergerus

Peran hakim agung tidak sebatas fungsi kasasi dan pengawasan, melainkan juga penjaga keadilan substantif. Dalam perspektif moral, hukum yang adil lahir dari integritas dan nurani. The Bangalore Principles menegaskan enam prinsip yang harus menjadi karakter hakim yakni independensi, ketidakberpihakan, integritas, kesopanan, kesetaraan, dan kompetensi.

Ketika prinsip-prinsip ini diabaikan, muncul ruang bagi praktik transaksional yang meruntuhkan marwah peradilan sekaligus menghantam pilar ekonomi. Ketidakpastian hukum adalah ancaman serius bagi investor. Dunia usaha tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga stabilitas hukum.

Investor asing dan domestik sangat sensitif terhadap iklim hukum yang dapat dibeli. Hilangnya kepastian berusaha membuat mereka menarik investasi ke negara yang memiliki sistem hukum bersih. Penurunan arus investasi asing langsung (FDI) adalah konsekuensi logis dari krisis ini.

Selain itu, pelaku usaha yang jujur dikalahkan oleh mereka yang bisa menyuap. Budaya impunitas memperkuat oligarki ekonomi yang menguasai sumber daya melalui jalur yang tidak sah. Masyarakat kecil, yang tidak mampu membeli akses hukum, akhirnya menjauhi sistem formal. Mereka memilih bertahan di ekonomi bayangan yang memicu pertumbuhan sektor informal, pinjaman ilegal, dan penghindaran pajak. Negara pun kehilangan potensi penerimaan dan kendali atas ekonomi nasional.

Jangan Hukum Semua Penegak Hukum

Kita harus jujur bahwa skandal hukum ini melahirkan public distrust. Namun penting ditekankan bahwa tidak semua hakim busuk. Banyak hakim yang tetap menjunjung tinggi keadilan, berintegritas, dan berjuang diam-diam menjaga kehormatan profesinya. Sebagaimana opini “Bangkai Amoral di Balik Toga Hakim” oleh Achmad Fauzi bahwa keresahan juga datang dari Hakim-hakim jujur. Mereka merasa takut disamakan dengan oknum yang menyimpang padahal mereka membaca berkas dari pagi hingga malam, menolak intervensi, dan menjaga independensi meski tidak populer. Kita perlu melindungi para penegak hukum yang bekerja dengan nurani dan menegakkan hukum dengan rasa takut kepada Tuhan, bukan pada kekuasaan atau uang.

Untuk memulihkan kepercayaan publik, reformasi lembaga peradilan harus mencakup dimensi spiritual, moral, dan sistemik. Secara spiritual dibutuhkan kesadaran personal dan kolektif bahwa setiap hakim adalah “image Dei” citra Tuhan di bumi yang ditugaskan membela kebenaran karena nurani, bukan tekanan kekuasaan. Secara moral, perlu dibangkitkan kesadaran transendental bahwa penyimpangan dari keadilan akan menjadi bumerang moral yaitu kemuliaan bagi yang tulus, dan kehinaan bagi yang menjual hukum. Sedangkan secara sistemik, penting disadari bahwa perilaku suap tidak hanya berdampak pada beban pidana, tetapi juga dampak sosial yang berat seperti bullying dialami anak-istri yang seringkali jauh lebih menyakitkan dibanding vonis hukum. Reformasi sistem harus diperkuat dengan digitalisasi proses hukum, e-court, dan pelacakan dana perkara untuk mencegah ruang transaksional. Penguatan perlindungan bagi whistleblower juga penting sebagai bagian dari pengawasan internal yang membangun kredibilitas. Tidak kalah penting adalah kesadaran menyelaraskan reformasi hukum dan agenda ekonomi, agar hukum menjadi fondasi pertumbuhan investasi, pembangunan ekonomi dan hukum yang berkeadilan.

Restorasi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dari narasi hakim korup dilawan dengan mengangkat narasi hakim jujur, dan lurus sebagai pilar peradaban. Mereka adalah “Yang Dimuliakan”, bukan sekadar “Yang Mulia”, yang mewakili kehadiran keadilan di bumi Tuhan. Mari kita jaga sinar keadilan dengan kesadaran luas agar tidak padam, dan tetap menjadi cahaya yang menyelamatkan sistem hukum, dan nasib bangsa. (***)