JAKARTA RAYA – Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri, dan Proyek Strategis Nasional, Akhmad Ma’ruf, menyampaikan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan tarif baru Amerika Serikat terhadap produk ekspor asal Indonesia. Kebijakan tersebut menetapkan tarif dasar 10% dan tarif resiprokal hingga 32%, yang dinilai mengancam daya saing industri nasional.
“Dengan tarif tinggi yang dikenakan, produk Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara lain, seperti Malaysia yang hanya dikenai tarif resiprokal 24%, bahkan mendapat pengurangan menjadi 6,43% untuk produk Solar PV,” jelas Ma’ruf.
Situasi ini, menurutnya, berpotensi memicu relokasi produksi (diverting production) ke negara-negara dengan kebijakan tarif lebih menguntungkan, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, Thailand, India, hingga China. Banyak perusahaan multinasional yang saat ini beroperasi di Batam juga memiliki pabrik di negara-negara tersebut, sehingga perpindahan aktivitas produksi menjadi sangat mungkin.
Ma’ruf menyoroti khusus kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) yang menyumbang 25% dari total ekspor langsung ke Amerika Serikat. Ia mendorong agar kawasan ini diberikan status Foreign Trade Zone dengan label Privileged Foreign Status, mengingat BBK tidak dikenai aturan kepabeanan seperti bea masuk dan PPN/PPnBM.
Selain itu, ia menekankan pentingnya percepatan perizinan investasi, terutama untuk tujuh proyek strategis nasional di Kepulauan Riau yang berfokus pada hilirisasi sumber daya alam. Menurutnya, perizinan dasar seperti pertanahan, lingkungan, dan perizinan teknis lainnya masih menjadi hambatan signifikan.
Kepulauan Riau saat ini menjadi pusat industri manufaktur Solar PV, dengan 26 perusahaan aktif dalam rantai pasok seperti ingot, polysilicon, solar cell, dan wafer. Industri ini menyumbang ekspor sekitar USD 350 juta per bulan ke pasar AS dan mempekerjakan lebih dari 10.000 tenaga kerja langsung serta 30.000 tenaga kerja tidak langsung.
“Jika kebijakan tarif ini terus berlanjut tanpa intervensi pemerintah, kita menghadapi risiko PHK massal dan melemahnya kontribusi industri terhadap ekonomi daerah,” tegas Ma’ruf.
Sebagai solusi jangka menengah, ia mengusulkan agar pemerintah mempercepat rencana ekspor energi hijau ke Singapura. Jalur ekspor listrik ini dapat menjadi pasar alternatif yang menopang keberlangsungan industri energi terbarukan di Kepulauan Riau dan mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat.
“Kami berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk melindungi industri dalam negeri, menjaga stabilitas sosial-ekonomi, dan mencegah gelombang PHK. Dengan strategi yang tepat, Kepulauan Riau tetap bisa menjadi pusat industri strategis yang kompetitif di tingkat regional maupun global,” pungkasnya. (hab)
Tinggalkan Balasan