Oleh: Mohamad Fuad – Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Sosial (Puskas)

Problematik kepemimpinan Indonesia di tengah mayoritas umat Islam kehilangan ruh kenabian dalam berdemokrasi.

Sehingga perlu solusi moral, sosial, dan politik untuk menuju cita-cita baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr:

Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya menjadi contoh bagaimana nilai agama dan cara berpolitik menyatu dalam akhlak dan keadilan.

Namun realitas berkata lain, demokrasi di negeri ini telah lama berjalan tanpa ruh kenabian tanpa ṣidiq, amānah, tablīgh, dan faṭonah. Yang tumbuh bukan lagi kepemimpinan moral, tetapi politik kepentingan dan kekuasaan dan itu terbukti di era Jokowi dan Prabowo.

Kita melihat pemimpin pandai berpidato tentang keadilan, kesejahteraan, kemakmuran namun faktanya berpihak pada penguasa modal dan elite pejabat.

Kita melihat pejabat yang fasih membaca ayat, namun matanya buta terhadap penderitaan rakyat. Dan kita menyaksikan bagaimana demokrasi telah berubah menjadi teater elite, di mana suara rakyat dibeli, janji diingkari, dan amanah dilupakan.

Padahal, Rasulullah telah memberi teladan kepemimpinan yang sempurna:

Ṣidiq (jujur) pemimpin yang berkata apa adanya, bukan berkata untuk menyenangkan.

Amānah (terpercaya) pemimpin yang memandang jabatan sebagai tanggung jawab, bukan keuntungan.

Tablīgh (menyampaikan) pemimpin yang komunikatif, transparan, tidak menutupi kebenaran.

Faṭonah (cerdas) pemimpin yang mampu membaca zaman dan mengambil keputusan bijak untuk kemaslahatan rakyat dan seluruh isi alam.

Ketika empat sifat ini hilang dari ruang kekuasaan, maka yang lahir hanyalah kedzaliman struktural hukum diperjual belikan, ekonomi dikuasai oligarki, dan kaum mustadz’afin terus menjadi korban sistem yang tidak berpihak.

Demokrasi dari angka ke akhlak

Masalah bangsa ini bukan kurangnya aturan, tetapi kurangnya kejujuran. Bukan kurangnya anggaran, tetapi hilangnya empati dan kesadaran moral.

Demokrasi yang seharusnya menjadi jalan musyawarah malah berubah menjadi arena perebutan kekuasaan tanpa etika moral.

Maka, solusinya bukan hanya mengganti pemimpin, tetapi mengembalikan nilai kepemimpinan kepada moral kenabian rahmatan lil ‘alamin.

Solusi Menuju Baldatun Ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr

1. Membangun kesadaran akhlak kolektif

Perubahan harus dimulai dari hati umat, bukan dari istana dan bukan juga dari gedung DPR. Masjid, pesantren, majelis ilmu, dan lembaga pendidikan kembali menjadi pusat pembentukan karakter, adab dan kesadaran sosial. Umat wajib memperbaiki bagaimana cara membaca zaman, membaca teks dan membaca nasib.

Dan Ulama serta intelektual harus berani bersuara jujur, obyektif dalam keberpihakan tidak bersembunyi di balik retorika netralitas.

2. Mencetak pemimpin dengan spirit kenabian

Setiap level kepemimpinan dari RT, kepala desa, hingga presiden harus disaring bukan hanya dari kepintaran, tapi dari integritas dan ketakwaannya.

Partai politik perlu direformasi agar tidak hanya mencetak politisi, tapi melahirkan negarawan berjiwa amar ma’ruf nahi munkar.

3. Mengembalikan demokrasi ke akar musyawarah

Demokrasi sejati bukan sekadar suara terbanyak, tapi hikmah terbesar, dimana nilai-nilai syura (musyawarah) dalam Islam harus menjadi roh kebijakan publik. Pemimpin harus mendengar, bukan memerintah; melayani, bukan dilayani.

Karena dalam dunia kekuasaan, hikmah terbesar bukan terletak pada kemampuan memerintah, melainkan kemampuan menahan diri, mendengar, dan berbuat adil. Pemimpin yang berhikmah bukan yang paling kuat, tapi yang paling bijak menyeimbangkan antara kekuasaan dan kebenaran.

Mereka tahu bahwa kekuasaan tanpa hikmah akan melahirkan kezaliman, dan keputusan tanpa hikmah hanya akan menambah luka bagi rakyatnya.

Hikmah terbesar bagi pemimpin adalah ketika ia menjadikan kekuasaan bukan alat untuk berkuasa, tetapi sarana untuk melayani dan menebar kemaslahatan.

4. Menegakkan keadilan sosial

Kesejahteraan rakyat tidak akan lahir tanpa keadilan hukum dan ekonomi. Negara harus memutus rantai korupsi, mempersempit jarak kaya-miskin, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu karena dalam Islam, keadilan adalah pilar iman yang harus terealisasi berkelanjutan

5. Menguatkan etika pemerintahan dan keteladanan

Reformasi birokrasi tidak cukup dengan regulasi, harus disertai keteladanan dari tingkatan atas. Seorang pemimpin yang rajin shalat malam tapi menindas rakyatnya di siang hari, bukanlah pemimpin yang diridloi Allah SWT.

Dari mana perubahan dimulai?

Perubahan bangsa ini tidak akan datang dari kekuasaan, tetapi dari kesadaran umat. Dari rumah tangga yang mendidik anak-anak dengan nilai jujur dan bersahaja. Dari masjid melahirkan kader berilmu dan berani.

Dari guru, petani, nelayan, dan buruh yang menolak suap dan kebohongan. Karena baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr bukanlah cita-cita politik, tapi hasil dari iman seseorang yang diterjemahkan dalam keadilan sosial.

Jika umat kembali menegakkan empat sifat kenabian dalam dirinya ṣidq, amānah, tablīgh, faṭonah maka Indonesia tak hanya menjadi negara besar, tapi menjadi bangsa yang diberkahi, berkeadilan, dan diridhai Allah. (***)