Oleh: Mohamad Fuad

JAKARTA RAYA – Di tengah politik Indonesia yang semakin pragmatis dan seringkali hampa visi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) membawa harapan dari akar tradisi intelektual yang telah tumbuh jauh sebelum negara ini berdiri. PKB bukan sekadar kendaraan politik, tapi kelanjutan dari peradaban berpikir yang diwariskan para ulama Nahdlatul Ulama (NU)—sebuah arus pemikiran yang dikenal dengan tashwirul afkar.

NU tidak lahir dari hasrat kekuasaan, tetapi dari kegelisahan intelektual. Dari sinilah lahir gagasan besar Mabadi’ Khairu Ummah, yang menuntun lahirnya PKB sebagai pengejawantahan politik dari moralitas dan akal sehat Islam Indonesia. Di tengah populisme murahan dan kultus tokoh yang menggerogoti demokrasi, PKB justru memosisikan diri sebagai oase ide, bukan pabrik slogan.

Bukan Sekadar Mesin Politik, Tapi Mesin Gagasan

PKB tidak bisa terus-menerus bertumpu pada romantisme sejarah. Dunia berubah, dan partai politik yang gagal beradaptasi akan tumbang atau sekadar menjadi pelengkap penderita demokrasi prosedural. Di sinilah pentingnya hadir Lembaga Riset dan pengembangan PKB—bukan sekadar formalitas struktural, tapi sebagai pembajak arus utama cara kerja partai di Indonesia.

Lembaga ini harus menjadi garda depan pertarungan ide, bukan hanya pelengkap administratif. Ia harus tajam, independen, dan berani menyentuh isu-isu sensitif yang selama ini dihindari: ketimpangan, oligarki politik, korupsi berjamaah, hingga kegagalan negara dalam mendengar jeritan rakyat kecil.

Dengan kerja riset yang sistematis dan berbasis data, PKB dapat keluar dari jebakan politik reaktif. Lembaga ini harus menjadi think-tank yang menggertak stagnasi, bukan sekadar menulis laporan untuk dibaca oleh segelintir elite partai. Harus ada keberanian untuk berkata benar di hadapan kekuasaan—meskipun itu kekuasaan partainya sendiri.

Mewujudkan Intelijen Politik, Bukan Sekadar Survei Elektabilitas

Hari ini, banyak partai terjebak dalam angka-angka elektoral tanpa memahami makna sosial di baliknya. PKB harus melampaui ini. Lembaga riset partai bukan hanya alat menakar peluang menang, tapi alat untuk menyusun strategi kebangsaan jangka panjang.

Dengan memanfaatkan teknologi dan marketing intelligence, PKB dapat memetakan basis suara secara real-time, membaca dinamika politik lokal, serta mengantisipasi konflik horizontal atau disinformasi yang semakin masif. Dengan kata lain, lembaga ini adalah alat navigasi ideologis di tengah lautan politik yang penuh ombak dan badai.

Kader Intelektual, Bukan Kader Tukang Sorak

Sudah saatnya PKB berhenti melahirkan kader instan yang hanya tahu slogan dan pencitraan. Lembaga riset ini harus menjadi kawah candradimuka bagi kader intelektual yang militan dalam pikiran, bukan sekadar loyalis struktural. Kader yang bisa menyusun narasi, membongkar manipulasi kebijakan publik, dan menghadirkan solusi berbasis ilmu, bukan insting politik sesaat.

Inilah saatnya PKB membalik logika umum: bahwa politik adalah jalan berpikir panjang, bukan sekadar seni memenangkan pemilu. Kader harus diajarkan bahwa loyalitas tertinggi adalah pada nilai perjuangan, bukan pada tokoh atau kursi.

Tradisi Intelektual adalah Perlawanan

Kelahiran Lembaga Riset dan pengembangan bukan hanya kebutuhan organisasi—ia adalah tindakan revolusioner dalam tradisi kepartaian Indonesia yang selama ini terjebak dalam politik transaksional. Di saat partai lain makin menjauh dari rakyat, PKB harus melawan arus dengan memperkuat akar: gagasan, ilmu, dan moral publik.

Bukan kebetulan jika para pendiri NU mengutamakan diskusi sebelum aksi, pemikiran sebelum keputusan. Lembaga ini adalah alat perlawanan terhadap pembodohan struktural, dan jika dijalankan dengan serius, bisa menjadi cetak biru regenerasi politik Indonesia yang lebih bermartabat.

PKB harus memilih: menjadi partai biasa dengan kader biasa, atau menjadi partai peradaban yang melahirkan intelektual politik. Jika pilihan jatuh pada yang kedua, maka Lembaga Riset dan pengembangan bukan lagi pilihan, tapi keharusan sejarah. (***)