JAKARTA RAYA, Morotai – Di balik janji pembangunan perikanan di Morotai, tersembunyi ironi pahit: gelombang hilirisasi justru berisiko menenggelamkan nelayan kecil, subjek yang seharusnya menjadi tulang punggung narasi kebangkitan di Pulau Terluar 3T.

Di peta geopolitik dan geoekonomi Indonesia, Pulau Morotai seharusnya ditakdirkan menjadi lokus utama kebangkitan hilirisasi tuna Nusantara. Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) didaulat sebagai penggerak transformasi ikan segar menjadi komoditas bernilai tinggi.

“Tolok ukur keberhasilan hilirisasi tuna di Morotai terletak pada sejauh mana nilai tambah ekonomi dapat dinikmati oleh para nelayan sebagai ujung tombak sektor ini. Sejarah Bandara Pitu Morotai sebagai pangkalan strategis global harus menginspirasi terciptanya sejarah baru: menjadikan Morotai sebagai pusat hilirisasi tuna yang berkeadilan, tempat nelayan berdaulat di lautnya sendiri,” jelas Rachma Fitriati, Ketua Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia di Morotai

Pelanggaran Zonasi dan Ancaman bagi Nelayan Tradisional

Konflik zonasi menjadi persoalan mendesak di perairan Bere-bere dan Gua Hira. Fakta di lapangan menunjukkan kapal-kapal berukuran 30 GT seperti Kapal PJK masih aktif beroperasi di kawasan tersebut. Padahal, aktivitas ini jelas melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan yang menetapkan jalur 0-4 mil sebagai zona khusus nelayan kecil.

“Zona ini seharusnya menjadi ruang hidup sakral bagi nelayan tradisional dengan kapal di bawah 5 GT,” tegas Rachma Fitriati.

Helmi Muhammad, Kepala Desa Bere-bere Morotai Utara, mengungkapkan pola yang lebih sistemik. “Kapal besar justru membentuk jejaring dengan Kapal Pukara yang bertindak sebagai penyuplai hasil tangkapan dari zona terlarang,” jelasnya.

Praktik ini berdampak pada struktur pasar yang timpang. Fhattahilla Mahasari, koordinator SPARTAN (Solidaritas Perjuangan Aksi Rakyat Tertindas), menjelaskan, “Mekanisme ini memusatkan pasokan pada segelintir perusahaan, menciptakan struktur pasar monopsonistik dimana nelayan hanya menjadi penerima harga, bukan penentu harga.”

Abdila Mandea, Kepala Desa Gua Hira Morotai Utara, menyatakan keprihatinan mendalam. “Kondisi ini sangat merugikan nelayan kami yang hanya mendapat bagian kecil dari nilai ekonomi sebenarnya,” tegasnya.

Menanggapi situasi ini, Rachma menekankan pentingnya penegakan hukum. “Keberadaan kapal besar di jalur ini tidak hanya merampas ruang tangkap nelayan lokal, tetapi juga mengancam ekosistem perairan dangkal. Diperlukan operasi terpadu yang konsisten dari PSDKP, TNI AL, dan Polairud Polri untuk menciptakan efek jera. Tanpa implementasi nyata, Permen KP 18/2021 hanya akan menjadi regulasi tanpa daya,” pungkasnya.

Struktur Pasar Timpang dan Krisis Rantai Dingin

Kehadiran Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai yang diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono akhir April lalu semestinya menjadi momentum transformatif bagi sektor perikanan setempat. Konsep ini dirancang sebagai ekosistem terpadu yang mengedepankan prinsip integrasi, efisiensi, peningkatan kualitas, dan percepatan produksi. Lokasinya yang strategis di pinggir Samudra Pasifik menempatkannya sebagai gerbang ekspor tuna utama menuju pasar premium seperti Jepang dan Singapura. Sayangnya, konsep ideal di atas kertas ini berhadapan dengan realitas struktur pasar dan infrastruktur yang belum seimbang.

Saat ini, rantai nilai tuna di Morotai masih berkutat pada pola lama. Hasil tangkapan nelayan pada akhirnya terpusat pada satu perusahaan pengolah tunggal. Kondisi ini menjelaskan mengapa Morotai belum memerlukan Sentra Tempat Pelelangan Ikan (TPI), karena tidak terjadi transaksi jual-beli hasil laut yang kompetitif, baik melalui sistem lelang maupun mekanisme pasar lainnya. Sebagian besar margin hilirisasi, saat tuna segar diolah menjadi loin, steak, atau sashimi yang nilainya berlipat ganda, justru mengalir ke perusahaan perantara.

Akibatnya, nelayan kembali terjebak sebagai pemasok bahan baku mentah dengan daya tawar yang lemah. Persoalan ini semakin parah dengan kondisi infrastruktur rantai dingin yang vital kini ambruk. Mesin pencetak es (ice flake) bantuan KKP di lima lokasi—Wayabula, Sangowo, Buho-buho, Bere-bere, dan Cendana—saat ini mangkrak akibat kesulitan perawatan dan kelangkaan suku cadang. Fasilitas penyimpanan dingin (cold storage) di SKPT juga kerap “mati suri” akibat pasokan listrik di Morotai yang tidak stabil.

“Imbasnya, nelayan terpaksa menjual hasil tangkapan dengan harga murah atau menyaksikan ikannya membusuk. Krisis ini memutus mata rantai hilirisasi di hulu dan mengembalikan nelayan pada posisi sebagai pedagang bahan mentah yang rentan,” papar Rachma. Situasi ini jelas bertolak belakang dengan semangat Asta Cita yang menekankan peningkatan nilai tambah bagi nelayan.

Langkah Solutif: Membangun Ekosistem Berkeadilan demi Asta Cita

Untuk memutus mata rantai permasalahan ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang berfokus pada penciptaan ekosistem berkeadilan, tidak sekadar pembangunan infrastruktur semata.

Pertama, penegakan hukum yang konsisten mutlak diperlukan. Operasi terpadu dan rutin antara PSDKP, TNI AL, dan Polairud harus ditingkatkan untuk menertibkan pelanggaran batas zonasi tangkap. Data KKP mencatat, 78% dari total 1.382 kasus pelanggaran perikanan sepanjang 2023 justru terjadi di wilayah terpencil seperti Morotai.

Kedua, pemberdayaan kelembagaan nelayan menjadi kunci. Koperasi nelayan setempat, seperti Koperasi Desa Merah Putih di Morotai, perlu dikembangkan menjadi koperasi yang tangguh dan terintegrasi. Lembaga ini dapat mengelola unit usaha es, menampung hasil tangkapan anggota, hingga membuka akses pemasaran yang lebih luas. Keberhasilan Koperasi Mina Jaya di Bitung membuktikan bahwa koperasi yang dikelola secara profesional mampu mendongkrak pendapatan nelayan hingga 40%.

Menyikapi hal ini, Kepala SKPT Daeo Majiko, Mahlil Aweng, menawarkan solusi operasional. “Guna mencegah pelanggaran perizinan usaha perikanan, kapal-kapal berukuran di bawah 10 GT dari luar Morotai seharusnya melakukan pendaratan di Dermaga Pelabuhan Perikanan Daeo Majiko atau SKPT Morotai,” paparnya. Langkah ini, menurutnya, sejalan dengan upaya peningkatan produksi. “Dengan adanya peningkatan produksi yang terdata, peluang investasi untuk membangun Unit Pengolahan Ikan di Morotai akan semakin terbuka lebar,” tambah Mahlil.

Peran Strategis Pemerintah Daerah sebagai State Obligation

Pemerintah Daerah (Pemda) harus mengambil peran yang lebih aktif dan tidak hanya menjadi fasilitator pasif. Sudah waktunya Pemda Maluku Utara dan Kabupaten Pulau Morotai membentuk Perusahaan Umum Daerah (Perusda) Perikanan yang kuat dan profesional. Perusda ini bukan untuk bersaing secara tidak sehat dengan swasta, melainkan untuk menjadi countervailing force dan market regulator yang menjamin keadilan.

Pembentukan Perusahaan Umum Daerah (Perusda) Perikanan yang profesional dapat menjadi penyeimbang pasar. Perusda dapat mengelola cold storage dengan energi terbarukan, menjadi pembeli dengan harga wajar, dan membuka akses pasar internasional. Keberhasilan Perusda di NTT yang menaikkan harga tuna 25% patut dicontoh.

Pembinaan SDM Berkelanjutan: Kolaborasi Pemda, KKP, dan institusi pendidikan seperti Politeknik Kelautan dan Perikanan Bitung dapat menyelenggarakan program sertifikasi kompetensi dan magang untuk pemuda Morotai di bidang manajemen rantai dingin, teknologi pengolahan, dan pemasaran digital.

“Ujian sebenarnya dari hilirisasi tuna di Morotai adalah sejauh mana nilai tambah ekonomi dapat dinikmati oleh para nelayan, ujung tombak sektor ini. Sejarah Bandara Pitu Morotai sebagai pangkalan strategis global harus menjadi inspirasi untuk menulis sejarah baru: menjadikan Morotai sebagai pusat hilirisasi tuna yang berkeadilan, tempat nelayan bukan lagi penonton, melainkan pemain utama di laut mereka sendiri,” tutup Dr. Rachma. (hab)