JAKARTA RAYA— Pemerintah memastikan kehadiran negara secara menyeluruh dalam penanganan banjir yang melanda sejumlah wilayah di Aceh. Selain fokus pada evakuasi dan pemulihan korban, aparat keamanan juga mengawal situasi sosial agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu melalui isu separatisme maupun politisasi bantuan kemanusiaan.

TNI dan Polri bersama pemerintah daerah terus bergerak di lapangan untuk memastikan distribusi bantuan berjalan lancar dan tepat sasaran. Kehadiran negara ditegaskan tidak hanya dalam bentuk bantuan logistik, tetapi juga dalam menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat di tengah situasi darurat.

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, menilai langkah negara tersebut krusial, mengingat munculnya kembali simbol-simbol separatis di tengah penanganan bencana. Ia mengingatkan bahwa simbol seperti bendera bulan bintang memiliki muatan ideologis yang kuat dan tidak bisa dipandang sebagai ekspresi netral.

“Simbol-simbol seperti pengibaran bendera bulan bintang ini tidak netral karena membawa muatan ideologis kuat dan memori kolektif tentang separatisme bersenjata di masa lalu. Membiarkan atau menormalisasi pengibaran simbol ini di ruang publik sama artinya dengan membuka ruang ambigu terhadap komitmen damai yang sudah kita bangun,” kata Khairul Fahmi dalam keterangannya.

Menurut dia, negara perlu menerapkan pendekatan yang tegas namun tetap beradab dalam merespons potensi konflik. Penegakan hukum harus berjalan seiring dengan pendekatan sosial yang persuasif kepada masyarakat terdampak bencana.

“Menghadapi isu ini negara dapat melakukan pendekatan yang disebut sebagai ‘ketegasan yang beradab’. Negara harus tegas dalam menegakkan prinsip kedaulatan dan hukum pidana bagi para pelanggar, tetapi tetap persuasif dalam pendekatan sosial kepada masyarakat umum. TNI dan Polri harus hadir dengan wajah pelindung yang humanis, bukan wajah garang yang menakutkan,” ujarnya.

Khairul menegaskan bahwa perdamaian Aceh merupakan capaian strategis nasional yang tidak boleh diganggu oleh provokasi simbolik. Ia mengingatkan perlunya batas yang jelas antara kebebasan berekspresi dan tindakan yang mengancam persatuan bangsa.

“Perdamaian Aceh adalah capaian strategis nasional yang harganya terlalu mahal untuk dipertaruhkan. Ia harus dijaga dengan kejelasan batas: mana ekspresi demokrasi yang sah, dan mana provokasi yang mengancam fondasi berbangsa,” kata dia.

Di sisi lain, Danrem 011/Lilawangsa Kolonel Inf Ali Imran menegaskan agar bantuan kemanusiaan untuk korban banjir tidak dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik. Penegasan itu disampaikan menyusul adanya sekelompok orang yang membawa bantuan sambil mengibarkan bendera separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Tujuan kelompok ini tidak lain untuk mengklaim bantuan dan menggiring opini bahwa bantuan berasal dari GAM. Padahal sejak awal, pemerintah pusat dan dermawan dari dalam maupun luar Aceh silih berganti menyalurkan bantuan kemanusiaan,” kata Ali Imran.

Sementara itu, Kapolda Aceh Irjen Pol Marzuki Ali Basyah mengatakan kehadiran Polri di lokasi bencana tidak hanya tampak secara fisik, tetapi juga melalui kemampuan mengatur dan menyelesaikan persoalan dengan cepat serta tepat.

“Kehadiran Polri tidak hanya tampak secara fisik di lapangan, tetapi benar-benar hadir dengan kemampuan mengatur, mengendalikan, dan menyelesaikan persoalan secara cepat,” ujar Marzuki.

Ia menambahkan, seluruh jajaran Polri yang tidak terdampak langsung bencana diwajibkan membantu wilayah terdampak. Selain itu, ia mengingatkan potensi pemanfaatan bencana oleh pihak tertentu untuk menyebarkan hoaks dan provokasi.

“Penguatan komunikasi publik serta pendekatan humanis kepada masyarakat korban bencana menjadi penting. Polda Aceh memastikan seluruh jajaran bergerak dalam satu arah yang sama untuk melindungi masyarakat dan menjaga keamanan dalam negeri,” kata Marzuki.