Oleh: Mohamad Fuad
Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan dua entitas besar yang memiliki pengaruh luas di Indonesia. Sebagai organisasi keagamaan dan partai politik yang berakar dari perjuangan para ulama, keduanya seharusnya mampu menjadi solusi bagi berbagai permasalahan bangsa, terutama dalam kondisi krisis yang saat ini tengah melanda negeri. Namun, faktanya, baik NU maupun PKB tampak seperti buih—besar secara jumlah, tetapi tidak memiliki daya tekan yang signifikan dalam merespons berbagai isu kebangsaan, termasuk pelanggaran etika dan moral dalam pemerintahan.
PKB: Besar Secara Kuantitas, tetapi Minim Kualitas
PKB sebagai partai politik memiliki jumlah kader yang besar, termasuk di legislatif. Namun, keberadaannya belum mampu memberikan dampak yang sebanding dengan nama besarnya sebagai partai yang lahir dari rahim para ulama. Salah satu penyebab utama adalah kurangnya pemahaman para elit dan kader terhadap ideologi serta cita-cita partai. Banyak di antara mereka yang menjadikan jabatan sebagai alat kepentingan pribadi dan kelompok, alih-alih memperjuangkan aspirasi umat.
Selain itu, PKB menghadapi tantangan dalam struktur organisasinya, terutama ketergantungan ekonomi dan teknologi. Hal ini menyebabkan partai menjadi kurang mandiri dan rentan terhadap pengaruh eksternal, termasuk politik uang dan budaya suap di berbagai tingkatan.
Perpecahan internal juga menjadi masalah yang melemahkan PKB. Tidak adanya forum bersama bagi alumni dan senior pengurus dari berbagai periode membuat kaderisasi tidak berjalan optimal. Akibatnya, meskipun PKB memiliki posisi strategis di parlemen, pengaruhnya dalam pemerintahan tetap minim.
NU: Organisasi Besar yang Kehilangan Arah
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Namun, NU kini tampak lebih condong ke arah nasionalisme daripada ukhuwah Islamiyah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman sebagian pengurus terhadap Qonun Asasi yang diwariskan oleh KH. Hasyim Asy’ari.
Dalam konteks sosial-politik, NU lebih memilih untuk merapat ke kekuasaan daripada menjalankan fungsi kontrol sosial secara konstruktif. Ketergantungan politik yang tinggi menyebabkan NU kehilangan independensi, sehingga sulit untuk bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, termasuk dalam mengawasi jalannya pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Tak hanya itu, perpecahan internal dan kurangnya pengembangan sumber daya manusia juga menjadi tantangan besar bagi NU. Organisasi ini masih menghadapi kendala dalam mengoptimalkan peran anggotanya, terutama dalam sektor ekonomi, teknologi, dan manajemen.
Solusi agar NU dan PKB Tidak Seperti Buih
Agar NU dan PKB dapat kembali memainkan peran strategisnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, beberapa langkah perlu segera dilakukan:
1. Peningkatan Kualitas SDM
NU dan PKB perlu mengembangkan kader yang memiliki pemahaman mendalam terhadap ideologi dan nilai-nilai organisasi. Pendidikan politik dan keagamaan harus diperkuat agar kader tidak sekadar mengejar jabatan, tetapi benar-benar memperjuangkan kepentingan umat.
2. Reformasi Struktur dan Manajemen Organisasi
Struktur organisasi harus diperjelas dengan pembagian peran dan tanggung jawab yang tegas. Politik uang dalam pembentukan kepengurusan harus dihentikan. Mekanisme demokrasi internal perlu dijalankan secara transparan dan akuntabel.
3. Meningkatkan Partisipasi dan Komunikasi
NU dan PKB perlu memperkuat komunikasi antaranggota serta meningkatkan keterlibatan kader dalam berbagai program organisasi agar tidak terjebak dalam kepentingan elit semata.
4. Membangun Kemandirian Ekonomi dan Politik
Ketergantungan pada pihak luar harus dikurangi. NU dan PKB harus mampu membangun kemandirian ekonomi melalui program-program berbasis pemberdayaan masyarakat.
5. Menjalin Kolaborasi yang Berprinsip
NU dan PKB dapat berkoalisi dengan pihak mana pun, termasuk pemerintah, tetapi tetap harus memegang prinsip, menjaga marwah organisasi, serta memiliki keberanian untuk mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat.
Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, NU dan PKB diharapkan dapat kembali menjadi kekuatan yang tidak hanya besar secara jumlah, tetapi juga memiliki pengaruh nyata dalam membangun bangsa. Jika tidak, keduanya akan terus menjadi sekadar buih—terlihat besar, tetapi mudah terombang-ambing dan menghilang tanpa meninggalkan dampak berarti. (pur)
Tinggalkan Balasan