Oleh: Mohamad Fuad, Ketua Umum Pengurus Besar Gusdurian Garis Lurus (PB – GGl)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Yahya, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa PBNU tidak boleh ditarik ke dalam politik praktis. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan, mengingat sejarah NU yang sejak awal tidak terlepas dari dinamika politik, mulai dari perjuangan melawan penjajah hingga era reformasi. Bahkan, PBNU turut melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai wadah politik bagi warga NU.

Namun, dalam praktiknya, di bawah kepemimpinan Gus Yahya, PBNU justru terkesan semakin terlibat dalam politik praktis. Beberapa kebijakan dan sikap organisasi dinilai lebih politis dibandingkan dengan institusi negara maupun partai politik. Independensi ulama yang menjadi ciri khas NU kini dipertanyakan, terutama ketika beberapa tokoh PBNU terlihat lebih dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Dinamika Internal PBNU dan Tantangan Independensi

Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, PBNU seharusnya mengedepankan kemandirian dan memiliki agenda yang otonom tanpa intervensi dari pihak mana pun. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa PBNU lebih banyak mengikuti arus kebijakan pemerintah tanpa sikap kritis yang konstruktif. Sikap ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya peran NU sebagai penjaga moral bangsa.

Lebih lanjut, polemik internal PBNU juga menjadi perhatian. Salah satunya adalah kontroversi terkait nasab Ba’alawi, yang berpotensi memecah belah warga NU di akar rumput. Dalam hal ini, Gus Yahya dinilai tidak mampu menyelesaikan perbedaan pandangan yang berkembang di masyarakat NU secara tuntas.

Selain itu, persoalan etika dalam politik juga menjadi sorotan. PBNU, sebagai organisasi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, diharapkan dapat bersikap tegas terhadap praktik politik uang, budaya suap, serta berbagai keputusan hukum dan politik yang dinilai anomali.

NU dan HTI: Mencari Titik Temu dalam Perbedaan

Sebagai organisasi Islam tertua setelah Muhammadiyah dan Jam’iyyatul Khair, NU memiliki peran besar dalam membangun harmoni sosial. Namun, dalam menyikapi perbedaan dengan kelompok lain, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), NU terkesan lebih keras dibandingkan dengan kelompok lain.

Secara politik, NU dan HTI memang memiliki pandangan yang berbeda, terutama dalam konsep negara. Namun, sebagai sesama warga negara dan umat Islam, dialog yang lebih terbuka dan santun seharusnya menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan perbedaan. Tuduhan bahwa HTI ingin mendirikan negara Islam masih menjadi perdebatan yang perlu dikaji lebih mendalam, tanpa terjebak dalam narasi yang berpotensi memecah belah umat.

Sebaliknya, NU seharusnya lebih fokus pada isu-isu strategis yang lebih berdampak pada kesejahteraan rakyat, seperti ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, serta berbagai masalah sosial lainnya.

Meneladani Sikap Muhammadiyah dalam Berorganisasi

Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang juga memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kebangsaan, sering kali menunjukkan sikap yang lebih matang dalam menghadapi dinamika politik. Organisasi ini cenderung tidak reaksioner dan tidak mudah terprovokasi dalam menghadapi kelompok yang memiliki pandangan berbeda.

Sikap independen dan konsisten Muhammadiyah dalam menjaga moralitas bangsa patut menjadi refleksi bagi PBNU. Ketika terjadi kasus penggusuran, perusakan lingkungan, atau kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat, Muhammadiyah sering kali hadir dengan solusi yang lebih substantif, tanpa terjebak dalam polemik yang bersifat reaktif.

Harapan untuk PBNU ke Depan

NU sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar di Indonesia perlu kembali kepada jati dirinya sebagai penjaga nilai-nilai Islam dan kebangsaan. Struktur PBNU dan organisasi di bawahnya harus menjaga independensi dari politik praktis dan lebih fokus pada agenda keumatan yang lebih luas.

Dalam konteks ini, Gus Yahya dan Sekjen PBNU, Gus Ipul, diharapkan dapat mengambil langkah yang lebih strategis untuk mengembalikan marwah organisasi. Jika ketidakmampuan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan internal terus berlanjut, maka opsi untuk mundur dari kepemimpinan bisa menjadi bagian dari tanggung jawab moral dan etika kepemimpinan dalam organisasi.

Ke depan, NU harus lebih berdaya dan sehat dalam menjalankan perannya, bukan sebagai alat politik, tetapi sebagai mitra kritis pemerintah yang tetap berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan demikian, NU akan tetap menjadi kekuatan besar dalam menjaga harmoni sosial, memperjuangkan keadilan, dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan sesuai cita-cita para pendiri NU dan NKRI. (pur)