Oleh: Ali Nurdin (Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi)

Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, menghadapi ironi besar dalam pengelolaan tenaga kerja. Di satu sisi, kekayaan alam berupa emas, minyak, gas, hutan, dan laut seharusnya menjadi modal besar untuk kesejahteraan rakyat. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa banyak warga negara terpaksa mencari nafkah di luar negeri dalam kondisi yang sering kali tidak manusiawi.

Sejarah Buram Perlindungan Pekerja Migran

Sejak tahun 1970-an, kebijakan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri menjadi bagian dari strategi ekonomi Indonesia. Namun, alih-alih memberikan manfaat optimal bagi para pekerja migran, sistem yang ada justru menciptakan berbagai permasalahan. Salah satu contohnya adalah krisis kemanusiaan di Jeddah, Arab Saudi, pada tahun 2011, ketika ribuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) terlantar di bawah jembatan Kandahar. Situasi serupa terulang di Riyadh pada 2013, menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar Indonesia dalam melindungi warga negaranya di luar negeri.

Laporan berbagai lembaga hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch, menyoroti maraknya praktik eksploitasi dalam sistem penempatan tenaga kerja Indonesia. Beberapa agen perekrutan atau Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) kerap terlibat dalam praktik pemalsuan dokumen, penarikan biaya berlebihan, hingga pengabaian terhadap nasib pekerja yang mengalami masalah di negara tujuan.

Tantangan Regulasi dan Kebijakan Negara

Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebenarnya mengakui pentingnya peran negara dalam melindungi tenaga kerja. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu tantangan utama adalah keberadaan P3MI yang, dalam praktiknya, lebih berorientasi pada keuntungan daripada perlindungan pekerja.

Sebagai perbandingan, Filipina menerapkan sistem perlindungan tenaga kerja migran melalui Philippine Overseas Employment Administration (POEA), di mana negara mengambil peran utama dalam memastikan keadilan dalam kontrak kerja, proses rekrutmen yang transparan, serta perlindungan hukum yang lebih baik. Model ini dapat menjadi rujukan bagi Indonesia untuk memperbaiki sistem penempatan tenaga kerja migrannya.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Dalam perspektif teori ketergantungan, Indonesia masih bergantung pada negara-negara tujuan pekerja migran seperti Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk menyerap tenaga kerja tidak terampil. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 2020 menunjukkan bahwa 70% PMI bekerja di sektor informal, dengan mayoritas dari mereka memiliki tingkat pendidikan rendah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan hanya pada kebijakan penempatan tenaga kerja, tetapi juga pada sistem pendidikan dan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri. Alih-alih mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk menyerap tenaga kerja lokal, Indonesia masih mengandalkan remitan (kiriman uang dari pekerja migran) sebagai sumber devisa.

Peran Negara dalam Melindungi PMI

Untuk mengatasi permasalahan ini, negara perlu mengambil langkah-langkah konkret, antara lain:

1. Mereformasi sistem penempatan PMI dengan memperkuat peran negara dalam proses perekrutan, pelatihan, hingga perlindungan di negara tujuan.

2. Membubarkan sistem P3MI yang terbukti lebih banyak merugikan pekerja dibanding memberikan perlindungan.

3. Membentuk lembaga khusus pemerintah yang bertanggung jawab penuh terhadap PMI, dengan mekanisme pengawasan ketat dari DPR dan organisasi masyarakat sipil.

4. Meningkatkan pendidikan dan pelatihan keterampilan agar tenaga kerja Indonesia memiliki daya saing lebih tinggi dan tidak hanya bergantung pada pekerjaan sektor informal di luar negeri.

5. Mengembangkan industri dalam negeri untuk membuka lebih banyak lapangan kerja, sehingga pengiriman tenaga kerja ke luar negeri bukan lagi satu-satunya pilihan bagi masyarakat.

Kesimpulan

Persoalan pekerja migran bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan harkat dan martabat bangsa. Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah serius dalam melindungi warganya di luar negeri dengan memperbaiki kebijakan penempatan tenaga kerja serta menciptakan lapangan kerja yang layak di dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia tidak lagi menjadi negara yang bergantung pada ekspor tenaga kerja murah, tetapi menjadi bangsa yang berdaulat dalam mengelola kekayaan dan sumber daya manusianya. (pur)