Oleh: Wawat Kurniawan (CEO Weka Institute)

Benar ada perdamaian di Palestina dalam makna MANUSIA WARAS? inti dari persoalan ini bukan “perdamaian,” melainkan pengelolaan konflik dengan kemasan diplomatik. (Itu sebabnya saya ga setuju Prabowo ikut-ikutan mereka, ini hanya memperburuk citranya krn dia berada ditempat yang tidak seharusnya dia berada, karena dia hanya akan dimanfaatkan sebagai pion bukan sebagai pemimpin yang diharapkan, apalagi jika dia hanya untuk kepentingan next election)

Berdasarkan uraian 21-poin versi Trump yang saya kutip, terlihat jelas bahwa rancangan tersebut bukanlah bentuk kedaulatan Palestina, melainkan restrukturisasi kendali atas Gaza — atau dengan kata lain, perdamaian administratif di bawah kontrol Israel dan sekutu Barat. (Seperti ungkapan Trump pada Netanyahu, dia paham bagaimana seharusnya menang)

Mari kita bedah:

1. “Peace” yang Dimaknai Sebagai Penghentian Tembakan, Bukan Pemulihan Kedaulatan

Rencana itu menekankan penghentian serangan dan pembebasan sandera, tetapi tidak menyentuh akar masalah: penjajahan, blokade, dan hak atas tanah.

Artinya, Palestina “tenang” bukan karena merdeka, tapi karena dipaksa diam melalui pengawasan eksternal.

2. “Transitional Technocratic Committee” = Pemerintahan Bayangan

Pembentukan badan teknokratik di bawah pengawasan Trump dan Tony Blair mencerminkan kolonialisme model baru — proxy governance.
Gaza kehilangan hak untuk mengatur dirinya sendiri; bahkan distribusi bantuan pun dikendalikan oleh lembaga asing.

Dalam terminologi geopolitik, ini disebut “soft occupation through humanitarian management.”

3. Eksklusi Hamas dan Faksi Palestina

Dengan meniadakan seluruh representasi politik lokal, rencana ini menciptakan vakum legitimasi internal.

Ini berbahaya karena justru memperpanjang siklus kekerasan — menghapus satu kelompok tanpa memberi saluran politik alternatif.

4. Zona Buffer Permanen dan Revisi Batas Gaza

Israel tidak benar-benar “keluar” dari Gaza. Mereka hanya mengganti bentuk pendudukan militer menjadi pendudukan struktural.

Buffer zone baru berarti pengurangan wilayah de facto, sementara Israel tetap memiliki hak veto atas pergerakan, pasokan, dan keamanan.

5. “Peace Management” vs. “National Liberation”

Seperti yang saya katakan — ini bukan kedaulatan, tapi crisis management.

Trump, dgn gaya transaksionalnya, mencoba mengubah tragedi kemanusiaan menjadi paket politik yang menguntungkan secara citra dan ekonomi, tanpa menyentuh akar keadilan historis.

Ini lebih mendekati normalisasi status quo penjajahan ketimbang penyelesaian damai sejati.

6. Kesimpulan: Perdamaian Semu, Dominasi Nyata

Rencana 21 poin itu secara substansi adalah:
“A blueprint for controlled calm, not genuine peace.”

Selama Palestina tidak memiliki hak menentukan nasib sendiri, pengelolaan semacam ini hanya akan memperpanjang pendudukan dalam bentuk administratif dan ekonomi.

Jika kita bicara secara jujur dan strategis, ini bukan solusi, melainkan reposisi kekuasaan global di atas penderitaan rakyat Gaza.

Real peace hanya akan lahir bila Palestina sendiri yang menentukan masa depannya, bukan lewat pena yang ditulis di Washington atau Tel Aviv.

Jadi militer israel tetap ada di gaza? Iya justru militer israel itulah penjaga perdamaian versi mereka, militer PBB akan ada disana? Sama sekali tidak akan ada, kecuali bantuan kemanusiaan, itupun menurut koridor yang ditentukan israel

1. Fase 1 – 55 % Gaza di bawah kendali Israel.
2. Fase 2 – 40 % masih dikontrol, bukan meninggalkan.
3. Fase 3 – Sekitar 15 % tetap dikuasai.

Wilayah ini berfungsi sebagai buffer zone permanen

Tidak ada mandat yang jelas untuk pasukan penjaga perdamaian internasional (PBB, Liga Arab, atau lainnya). Yang disebut “penjaga perdamaian” hanyalah militer Israel sendiri, sehingga “perdamaian” dalam rencana ini berarti pengawasan unilateral: Gaza tenang karena dijaga oleh pasukan yang sebelumnya menyerangnya.

Secara geopolitik, ini menegaskan perdamaian versi mereka adalah stabilitas di bawah kontrol Israel. (***)