Mohamad Fuad – Direktur Eksekutif PUSKAS

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa cikal bakal terbentuknya Front Pembela Islam (FPI) memiliki kaitan erat dengan dinamika politik pasca-Orde Baru. Salah satu titik awalnya adalah keterlibatan kekuatan sipil terorganisir dalam kelompok PAM Swakarsa yang dibentuk atas inisiatif sejumlah tokoh dari kelompok Islam konservatif, dengan dukungan sebagian unsur militer yang menjadi penopang utama rezim Orde Baru.

Polarisasi antara kelompok Islam kanan dan kekuatan politik kiri pada masa transisi reformasi bukanlah hal yang terjadi secara alamiah. Dalam banyak kasus, ketegangan itu justru dibentuk oleh elite kekuasaan untuk meredam kekuatan pro-demokrasi yang dianggap berhaluan sekuler, liberal, bahkan dituduh berafiliasi dengan paham komunisme.

Setelah rezim Orde Baru tumbang dan tekanan reformasi menguat, PAM Swakarsa tidak lagi relevan dalam bentuk semula. Beberapa komponennya kemudian bertransformasi menjadi ormas-ormas baru, termasuk FPI yang mulai menunjukkan eksistensi sebagai kekuatan sipil yang aktif dalam isu-isu keagamaan dan moral publik.

Di masa awal reformasi, sejumlah tokoh seperti Presiden BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri muncul sebagai representasi semangat demokrasi dan desakan reformasi institusional, termasuk pembubaran Dwifungsi ABRI dan pelaksanaan referendum Timor Timur. Langkah-langkah tersebut memicu resistensi dari sebagian petinggi militer yang merasa kepentingan politik dan ekonominya terancam.

Konflik itu kemudian berkembang menjadi ketegangan politik yang lebih luas. Habibie akhirnya tidak mencalonkan diri dalam pemilu berikutnya karena kurang mendapat dukungan dari Golkar dan militer. Gus Dur yang menggantikannya pun mengalami tekanan politik yang luar biasa hingga berujung pada pemakzulan oleh DPR/MPR, tanpa perlawanan berarti dari militer—yang sebagian telah merasa tidak lagi memiliki afiliasi struktural setelah dipisah dari kepolisian.

Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan jenderal berlatar belakang reformis membawa angin perubahan lain. SBY berupaya mendorong profesionalisme TNI dan menjaga agar militer tidak lagi terlibat langsung dalam politik praktis maupun bisnis. Dalam prosesnya, pemerintahan SBY juga menjalin hubungan strategis dengan sejumlah ormas sipil, termasuk FPI, sebagai mitra politik informal dalam mendukung kebijakan-kebijakan tertentu.

Pada periode ini, FPI semakin mendapatkan tempat dan perlindungan politik, bahkan berkolaborasi dengan sebagian eks pejabat militer. Dukungan terhadap FPI pun meluas ke kalangan habaib yang memiliki pengaruh besar dalam komunitas Ahlussunnah wal Jamaah, memperkuat basis kultural FPI di tengah masyarakat.

Kondisi ini menjelaskan maraknya kegiatan keagamaan seperti majelis zikir hingga ke tingkat akar rumput selama dua periode pemerintahan SBY. FPI dan para habaib menjadi bagian dari kekuatan sosial-politik yang signifikan dalam mendukung stabilitas pemerintahan saat itu.

Ketegangan politik muncul kembali ketika Gus Dur dan Megawati—dua tokoh sipil dengan rekam jejak membatasi peran politik militer—kembali mendapat label negatif dari sebagian elite militer. Gus Dur, misalnya, sering diserang dengan narasi bahwa ia tokoh liberal, sekuler, bahkan pembela Israel—narasi yang kemudian digunakan untuk mendeligitimasi kebijakannya melalui saluran-saluran keagamaan dan ormas.

Masuknya Jokowi ke panggung nasional sebagai kandidat presiden 2014 mewakili faksi politik Megawati, kembali memunculkan ketegangan antara dua kutub politik besar: nasionalis versus sebagian kelompok Islam konservatif. Meskipun sebagian kecil militer mendukung Jokowi, sebagian lainnya tetap berpihak pada Prabowo yang dianggap merepresentasikan kekuatan militer.

Polarisasi ini menimbulkan dampak signifikan di masyarakat. Kontestasi antara kelompok Islam dengan pendekatan tradisional-nusantara dan kelompok habaib/Ba’alawi mengeras, terutama dalam narasi di ruang publik. Kemenangan Jokowi membuat sebagian kelompok yang sebelumnya vokal, seperti FPI, terus melanjutkan perlawanan politik terhadap pemerintah dengan isu-isu sensitif seperti tuduhan anti-Islam atau afiliasi komunisme.

Namun, Jokowi perlahan berhasil memperkuat basis kekuasaan dengan mengonsolidasikan Polri dan merangkul sejumlah tokoh militer. Masuknya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan di periode kedua pemerintahan Jokowi menandai babak baru: terbangunnya kesepahaman politik antara kekuatan sipil dan militer. Di saat yang sama, pada 2020, pemerintah membubarkan FPI—tindakan yang menunjukkan pergeseran aliansi strategis di lingkaran kekuasaan.

Kini, politik militer telah kembali mendapatkan posisi penting dalam pemerintahan. Maka, penting untuk menyudahi narasi pertentangan antara kelompok habaib/Ba’alawi dan kelompok Islam nusantara. Keduanya adalah aset penting umat, bangsa, dan negara. Ketegangan yang terus dipelihara hanya akan memperlemah persatuan dan membuka celah untuk kepentingan politik jangka pendek.

Sudah saatnya umat menolak diadu domba dan kembali memperkuat ikatan sosial berbasis ukhuwah dan kebangsaan, demi keutuhan Indonesia ke depan. (***)