Oleh: Mohammad Fuad – Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Sosial (Puskas)
Dalam tradisi ketatanegaraan Indonesia pasca-reformasi, terdapat gagasan ideal bahwa hukum adalah panglima (rule of law) dan bahwa seluruh tindakan pemerintah harus tunduk pada konstitusi serta putusan lembaga yudisial.
Namun, perkembangan politik mutakhir menunjukkan adanya pergeseran orientasi kekuasaan. Dalam praktik pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga kepemimpinan Prabowo Subianto muncul fenomena yang oleh banyak pengamat disebut sebagai politik sebagai panglima yakni situasi ketika kalkulasi dan kepentingan politik lebih dominan daripada supremasi hukum.
Salah satu contoh paling aktual yang memperlihatkan kecenderungan tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil.
Secara konstitusional, putusan MK bersifat final dan mengikat, serta wajib dilaksanakan tanpa syarat. Namun, respons pemerintah justru memperlihatkan sikap yang ambivalen: alih-alih menjalankan putusan secara cepat dan tegas, pemerintah memilih untuk mengaji ulang, mempelajari implikasi, atau menunggu koordinasi birokrasi.
Sikap ini bukan sekadar teknis administratif, tetapi mencerminkan prioritas politik yang lebih besar daripada kepatuhan legal-formal.
Secara akademik, fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk pragmatisme politik eksekutif. Pemerintah memiliki kepentingan mempertahankan konfigurasi birokrasi yang selama ini diperkuat oleh kehadiran personel Polri di berbagai lembaga sipil. Prabowo ingin merangkul polri meskipun dengan cara yang cacat hukum, hal ini sepertinya akan dirawat terus oleh prabowo.
Kehadiran perwira polisi aktif dianggap membantu stabilitas, mempercepat kontrol administratif, dan memfasilitasi agenda politik tertentu. Karena itu, ketika MK mengeluarkan putusan yang berpotensi mengganggu tatanan tersebut, pemerintah merespons dengan kalkulasi politik, bukan dengan kepatuhan hukum yang absolut.
Fenomena ini menandai terjadinya recentralisasi kekuasaan eksekutif, di mana keputusan-keputusan hukum diposisikan sebagai variabel yang bisa dinegosiasikan dan dikompromikan.
Dalam perspektif teori negara, hal ini menunjukkan menguatnya logika political instrumentalism: hukum ditempatkan sebagai instrumen fleksibel yang dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan politik pemerintah. Padahal ini sangat berbahaya bagi pemerintahan Prabowo.
Dalam konteks ini, hukum tidak lagi menjadi panglima, melainkan subordinat dari kepentingan kekuasaan.
Dari segi politik kelembagaan, sikap pemerintah terhadap putusan MK menunjukkan bahwa otoritas yudisial tidak lagi memiliki posisi yang sepenuhnya menentukan. Prabowo tidak lebih baik dari Jokowi dalam menyelamatkan dan menggunakan hukum dan konstitusi.
Pemerintah tidak menolak secara terbuka, tetapi menunda, memodifikasi, dan menafsirkan ulang putusan tersebut melalui mekanisme internal. Ini merupakan gejala executive dominance, yaitu dominasi cabang eksekutif atas lembaga lain, termasuk peradilan.
Pada saat yang sama, dinamika ini memperlihatkan hubungan yang erat antara politik keamanan dan politik birokrasi.
Pemerintahan Jokowi dan kemudian Prabowo banyak mengandalkan struktur aparat (Polri maupun unsur keamanan lain) sebagai penyangga stabilitas.
Karena itu, reposisi ribuan anggota Polri dari jabatan sipil dipandang dapat mengganggu arsitektur politik administratif yang telah terbangun. Di titik inilah kepentingan politik mengalahkan desakan untuk menjalankan keputusan konstitusional.
Secara akademik, narasi ini menegaskan bahwa Indonesia tengah bergerak menuju model pemerintahan di mana policymaking lebih ditentukan oleh kalkulasi politik daripada prinsip hukum.
Dalam kerangka demokrasi konstitusional, hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Ketika politik menjadi panglima dan hukum hanya mengikuti, maka prinsip checks and balances akan melemah, dan ruang bagi rule by law bukan rule of law akan menguat.
Dengan demikian, kasus putusan MK terkait larangan polisi aktif menjabat di lembaga sipil merupakan ilustrasi empiris bahwa kepentingan politik pemerintah lebih menentukan arah kebijakan dibanding kewajiban konstitusional.
Ini menjadi bahan refleksi akademik penting mengenai masa depan tata kelola demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Prabowo, apakah negara akan tetap berpegang pada supremasi hukum, ataukah semakin bergerak menuju model kekuasaan yang dikendalikan kalkulasi politik sebagai panglima tertinggi. (***)


Tinggalkan Balasan