JAKARTA RAYA — Perang selalu meninggalkan jejak penderitaan yang mendalam. Bagi Italia, keprihatinan saja tidak cukup. Sebagai salah satu negara tujuan utama pengungsi akibat konflik bersenjata, negeri ini memegang teguh prinsip konstitusinya: melindungi martabat setiap manusia. Situasi di Palestina, khususnya Gaza, yang kian memburuk, kembali menguji komitmen itu.
“Apa yang terjadi di Gaza sungguh tidak dapat diterima dan memalukan. Jika warga Palestina ingin bertahan, saya mengerti. Namun jika mereka ingin pindah ke Italia, kami siap membantu pendidikan mereka,” kata Kepala Centro Provinciale per l’Istruzione degli Adulti (CPIA) 5 Milano, Prof. Pietro Cavagna, PhD.
CPIA 5 Milano adalah lembaga pendidikan otonom yang menyediakan program belajar bagi orang dewasa dan remaja untuk menyelesaikan studi atau memperoleh keterampilan baru. Banyak imigran dan pengungsi dari berbagai negara telah dibimbing di sini hingga mampu hidup mandiri dengan penuh martabat di Italia.
Pietro mengakui, lembaganya selalu siaga setiap kali konflik bersenjata pecah di dunia. Pada 2022, saat perang di Ukraina meletus, data UNHCR mencatat sekitar 175.000 warga Ukraina memilih Italia sebagai tempat perlindungan. Negara pun harus menyediakan bukan hanya kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan, tetapi juga akses pendidikan.
CPIA 5 Milano merespons cepat. Mereka mengontrak seorang guru asal Ukraina yang menguasai bahasa Italia, Inggris, Ukraina, dan Rusia untuk mendampingi siswa pengungsi. Sebuah ruang khusus bernama Aula Pace (Ruang Damai) pun disiapkan sebagai simbol solidaritas bagi para murid dari Ukraina.
Pengungsi yang datang ke Italia tidak hanya korban perang. Ada pula yang terdorong oleh situasi politik yang tidak stabil, tekanan ekonomi, bencana alam, hingga tingginya angka kriminalitas di negara asal.
Menurut catatan CPIA 5 Milano, sebagian besar siswanya berasal dari negara mayoritas Muslim seperti Mesir, Bangladesh, dan Pakistan, diikuti imigran Katolik dari Peru dan negara-negara Amerika Latin, penganut Ortodoks dari Eropa Timur, komunitas Koptik dari Mesir, Hindu dan Buddha dari Asia, hingga Sikh dari Asia Selatan.
Sensitivitas terhadap keberagaman ini tercermin dalam fasilitas sekolah. Salah satu selasar gedung dialokasikan untuk ruang tenang berkarpet khas Timur Tengah, dekat toilet untuk memudahkan ritual bersuci. “Ini bukan tempat ibadah. Ini adalah ruang keheningan untuk damai,” ujar Pietro.
Didirikan pada 2014, CPIA 5 Milano awalnya bertujuan membantu warga Italia yang belum menyelesaikan pendidikan formal. Namun, aturan ketenagakerjaan yang tidak mensyaratkan ijazah sarjana membuat program ini lebih banyak dimanfaatkan oleh para imigran. Kini, lembaga ini berkembang menjadi pusat pembelajaran bahasa dan program persamaan setara SMP.
Dari awalnya hanya 3.000 siswa, jumlah peserta didik kini mencapai sekitar 9.000, tersebar di 19 lembaga di wilayah Lombardia, dengan konsentrasi terbesar di Milan. CPIA juga menggelar kelas di penjara dewasa dan remaja (usia 14–20 tahun).
Kelas pagi biasanya diikuti perempuan—termasuk ibu rumah tangga dan remaja putri—sementara laki-laki yang bekerja lebih banyak hadir di kelas sore atau malam. Tingkat kelulusan berada di kisaran 60 persen, dengan berbagai hambatan seperti perpindahan kota, kelahiran anak, perubahan pekerjaan, hingga masalah pribadi yang sensitif.
Bagi lulusan, tersedia jalur lanjutan mulai dari tingkat bahasa A1 hingga C1, atau melanjutkan ke persamaan SMA dan sekolah profesi, seperti IIS Kandynsky, IIS Frisi, IIS Giorgi, IIS Molinari, Bertarelli ENAIP, GALDUS, CAPAC, AFGP, Immaginazione Lavoro, ASLAM, Fondazione Clerici, dan Centro Fleming.
Pietro bercerita, bekerja dengan imigran berarti harus siap menghadapi dinamika besar. “Saya pernah menemui siswa yang pindah kota, mengganti nama, kewarganegaraan, agama, bahkan identitas gender. Itu semua normal di pekerjaan ini,” ujarnya. Bagi sebagian imigran, Italia menjadi tempat menemukan kembali jati diri—baik secara administratif, personal, mental, maupun spiritual.
Sekolah ini juga memiliki lahan pekarangan yang diolah siswa dengan tanaman dari negara asal masing-masing. Ada greenhouse dan nursery yang dikelola Renuka, staf asal Sri Lanka yang sebelumnya menyuguhi teh dan kue khas negaranya. Pietro mengajak berkeliling kebun sekolah yang semarak: dari sudut Cina dengan tanaman umbi-umbian hingga labu, ubi jalar, dan kacang polong. “Saya juga berhasil menanam alpukat dan pohon kelor!” ujarnya bangga.
Bagi Pietro dan seluruh tim CPIA 5 Milano, pendidikan bukan sekadar pelajaran di kelas. Ini adalah sarana memulihkan martabat, membangun kemandirian, dan memberi kesempatan hidup yang lebih baik bagi setiap manusia, tanpa memandang asal atau keyakinan. (hab)
Tinggalkan Balasan