JAKARTA RAYA – Wacana pemerintah untuk menerapkan redenominasi rupiah kembali mencuat ke ruang publik. Penyederhanaan tiga digit angka pada nominal rupiah ini memunculkan berbagai reaksi, mulai dari dukungan hingga kekhawatiran. Banyak masyarakat yang belum memperoleh informasi yang utuh, sehingga timbul asumsi keliru bahwa nilai uang mereka akan berkurang atau daya beli akan turun setelah redenominasi diberlakukan.

Menanggapi hal tersebut, ekonom Universitas Batanghari Jambi, Prof. Dr. Hj. Arna Suryani, S.E., M.Ak., Ak.CA., memberikan penjelasan yang menegaskan bahwa redenominasi tidak berkaitan dengan pemotongan nilai uang. Ia menyampaikan bahwa kesalahpahaman publik biasanya berasal dari pengalaman masa lalu ketika pemerintah melakukan sanering, kebijakan yang secara nyata memangkas nilai uang masyarakat. Padahal, konteks redenominasi saat ini sangat berbeda.

Menurut Prof. Arna, redenominasi hanyalah penyederhanaan cara penulisan angka. Tiga digit nol pada rupiah akan dihilangkan tanpa mengubah nilai riil ataupun daya beli. Ia memberikan ilustrasi sederhana: uang Rp1.000 akan ditulis menjadi Rp1, Rp10.000 menjadi Rp10, dan Rp100.000 menjadi Rp100. Harga barang pun akan mengikuti penyesuaian digit yang sama. Barang seharga Rp100.000 nantinya cukup ditulis Rp100, tetapi nilai ekonominya tetap identik. Perubahan hanya terjadi pada tampilan nominal, bukan substansi nilai.

Penjelasan ini penting karena sebagian masyarakat masih cemas bahwa tabungan, gaji, dan kekayaan mereka akan menyusut. Kekhawatiran tersebut muncul karena istilah “pemangkasan angka” sering disalahartikan sebagai pengurangan nilai uang. Prof. Arna menegaskan bahwa redenominasi bukan sanering, sehingga tidak ada daya beli yang hilang atau kekayaan yang terpotong. Kebijakan ini murni bertujuan mempermudah transaksi, meningkatkan efisiensi pencatatan, dan mendukung modernisasi sistem keuangan nasional.

Ia juga menilai bahwa tantangan terbesar dari kebijakan redenominasi bukan terletak pada teknis pelaksanaan, tetapi pada psikologi publik. Jika komunikasi pemerintah tidak jernih, masyarakat dapat salah paham, sehingga menimbulkan potensi kepanikan yang tidak perlu. Karena itu, edukasi publik harus dilakukan secara masif, konsisten, dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Pemerintah, Bank Indonesia, lembaga keuangan, akademisi, dan media memiliki peran penting untuk memastikan masyarakat menerima informasi secara tepat.

Selain menepis kekhawatiran, Prof. Arna juga menyoroti manfaat ekonomi dari kebijakan ini. Penyederhanaan digit rupiah diyakini dapat memperkuat posisi rupiah di tingkat global, membuat transaksi lebih praktis, mengurangi risiko kesalahan hitung, dan meningkatkan efisiensi pencatatan baik di sektor riil maupun pasar saham. Dengan jumlah digit yang lebih sedikit, transaksi saham, pelaporan keuangan, dan sistem pembayaran digital akan berjalan lebih cepat dan mudah.

Menutup penjelasannya, Prof. Arna berharap masyarakat tidak mudah terpengaruh kabar tidak akurat yang beredar di media sosial. Redenominasi harus dilihat secara rasional sebagai langkah modernisasi moneter, bukan ancaman terhadap kekayaan. Nilai uang masyarakat tetap utuh, dan kebijakan ini hadir untuk menyederhanakan, bukan merugikan. Dengan komunikasi publik yang transparan dan edukatif, ia meyakini masyarakat akan menyambut redenominasi dengan lebih tenang dan penuh keyakinan. (hab)