JAKARTARAYA – Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma bekerja sama dengan World Farmers’ Organization (WFO) menyelenggarakan Roundtable Discussion bertajuk “Sustainability and the Role of Woman Farmer in Agrifood Systems” pada Jumat, 19 September 2025, pukul 10.00–11.30 waktu setempat, bertempat di German Room, Kantor Pusat FAO, Roma, dengan format hibrida.
Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh Resolusi Majelis Umum PBB pada 7 Mei 2024 yang menetapkan tahun 2026 sebagai International Year of the Woman Farmer (IYWF), serta menegaskan peran penting petani perempuan sekaligus tantangan yang mereka hadapi, termasuk keterbatasan akses lahan, kredit, teknologi, dan pasar. Sejalan dengan itu, Voluntary Guidelines on Gender Equality and Women’s and Girls’ Empowerment dari Committee on World Food Security menekankan perlunya mengatasi hambatan berlapis bagi petani perempuan. Dalam konteks ini, penerapan EU Deforestation Regulation (EUDR) pada akhir tahun 2025 menjadi perhatian karena berpotensi menghambat akses petani kecil, khususnya perempuan, ke rantai pasok Uni Eropa, termasuk untuk komoditas unggulan Indonesia.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Italia, Prof. Dr. Junimart Girsang, dalam sambutan pembukaannya menekankan bahwa petani perempuan adalah garda depan ketahanan pangan Indonesia dan penggerak utama pertanian berkelanjutan. Namun, kebijakan global seperti Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) berisiko mengucilkan jutaan petani kecil, khususnya perempuan, dari rantai pasok Uni Eropa, meski mereka berkontribusi besar dalam menjaga pangan dan lingkungan.
“Upaya mendukung petani perempuan dalam meningkatkan produktivitas pertanian mereka saja tidaklah cukup. Mengatasi tantangan yang menghambat peran penting petani perempuan juga sama pentingnya. Karena itu, perlu dieksplorasi solusi dan kerangka kerja untuk memitigasi dampak EUDR, serta memperkuat pengembangan kapasitas dan akses pasar bagi petani kecil dan perempuan,” tegasnya.
Diskusi ini melibatkan para pembahas dari berbagai latar belakang. Dari Indonesia, hadir langsung Eti Sumiati (petani kopi), Cici Tiansari (petani sawit), Ayu Antariksa (petani kakao), dan Kusniati (petani karet) yang berbagi perspektif dan pengalaman nyata di lapangan, termasuk tantangan yang dihadapi sebagai petani kecil, serta potensi dampak dari rencana penerapan EUDR terhadap keberlanjutan usaha, penghidupan, dan ketahanan masyarakat pedesaan.
“Kopi rakyat kami sejak lama tumbuh dengan agroforestri, menjaga tanah, air, dan hutan. Namun, hidup petani kecil tidak mudah—panen berubah, hasil menurun, pendapatan tak menentu. Kini hadir tantangan baru, EUDR. Kami paham tujuannya baik, tapi bila tanpa memperhatikan petani perempuan, rantai pasok akan makin dikuasai pihak besar. Bagi kami, keberlanjutan bukan hanya menjaga hutan, tetapi juga menjaga kehidupan petani kecil,” ujar Ibu Eti, seorang petani kopi dari Jawa Barat yang kini memimpin Koperasi Perempuan WANOJA. Koperasi ini memiliki 108 anggota, dan sebagian besar adalah perempuan (75%).
Ibu Cici, petani sawit dari Jambi, juga menyampaikan bahwa pelindungan hutan harus berjalan bersama pelindungan petani kecil, dan bahwa mereka bukan bagian dari masalah, melainkan bagian dari solusi.
“Kami siap mendukung keberlanjutan, tetapi tidak bisa berjalan sendiri. Petani kecil berharap ada masa transisi yang adil, biaya kepatuhan dibagi bersama rantai pasok, serta pengakuan pada standar nasional seperti ISPO. Kami juga memohon adanya ruang dialog agar suara petani perempuan sawit didengar,” lanjutnya. Ibu Cici menutup paparannya dengan satu pesan kunci, yaitu: “Tanpa petani kecil, tidak ada minyak sawit berkelanjutan; dan tanpa petani kecil, tidak ada masa depan rantai pasok global yang adil.”
Sementara itu, narasumber internasional yang turut hadir antara lain Kati Partanen, Treasurer sekaligus Board Member World Farmers’ Organization; Blaise Kuemlangan, Chief of Development Law Service FAO; serta Pietro Paganini, President dan Co-Founder Competere. Diskusi ini dipandu oleh Lauren Phillips, Deputy Director Rural Transformation and Gender Equality Division FAO, yang berperan sebagai moderator dan memfasilitasi jalannya dialog.
Kehadiran para pembahas menghadirkan beragam perspektif, mulai dari pengalaman langsung petani perempuan hingga pandangan hukum, regulasi, dan kebijakan, yang memperkaya pemahaman bersama mengenai tantangan EUDR. Melalui forum ini, Indonesia berharap tercipta ruang dialog konstruktif untuk berbagi pengalaman, menampilkan praktik terbaik, serta menegaskan kontribusi penting petani perempuan dalam membangun sistem pangan global yang berkelanjutan dan inklusif. Indonesia juga menekankan pentingnya agar penerapan EUDR turut mengakui sertifikasi nasional maupun internasional yang sudah berjalan, serta disertai dukungan finansial dan teknis. Dengan demikian, upaya keberlanjutan dapat berjalan seimbang antara menjaga kelestarian hutan sekaligus melindungi penghidupan petani kecil.(RW)
Tinggalkan Balasan