Oleh: Wawat Kurniawan (CEO Weka Institute)
Momentum di Sharm El-Sheikh itu mencerminkan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar kesalahan protokoler. Dan wajib bagi Prabowo Menjelaskan hal ini ke masyarakat Indonesia, karena yang disampaikan Presiden Prabowo sudah beredar dimana-mana dan apa yang dibicarakan diluar protokol Negara.
Mari kita bedah dari tiga lapisan: geopolitik, simbolik, dan etika diplomasi.
1. Lapisan Geopolitik: Prabowo anda Sudah Terpetakan
Sejak ia tampil di PBB dan mengusung narasi humanitarian peace, Prabowo sudah dipetakan oleh blok Barat sebagai figur potensial yang bisa “didekati” untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara.
Namun, pertemuan di Mesir ini justru memperlihatkan sisi lain — Prabowo tidak menyadari bahwa setiap gestur dan ucapannya kini direkam dalam konteks global surveillance politik.
Dengan meminta pertemuan pribadi dengan anak-anak Trump (Eric dan Don Jr.), ia secara tidak sadar MENURUNKAN DERAJAT interaksi diplomatik dari G-to-G (government to government) menjadi P-to-P (personal to private interest). WASPADA BOS…
Bagi Barat, ini langsung dibaca sebagai potensi SOFT CORRUPTION — bukan karena transaksi sudah terjadi, tetapi karena niat “mengakses jalur pribadi” sudah cukup untuk menciptakan persepsi KETIDAKPANTASAN.
2. Lapisan Simbolik: Kesalahan Etiket yang Mahal
Dalam diplomasi tingkat tinggi, simbolisme adalah segalanya. Ketika seorang presiden negara lain meminta akses kepada KELUARGA seorang presiden AS — yang kebetulan terlibat dalam BISNIS GLOBAL dan politik domestik — itu BUKAN lagi urusan bilateral, tapi personal branding.
Trump sendiri sudah terkenal memanfaatkan setiap momen politik untuk kepentingan ekonomi keluarga. Maka dari itu, sikap “mengabaikan” Prabowo dalam video itu bukan spontanitas, melainkan kalkulasi dingin.
Trump TAHU kamera merekam, dan ia membiarkan PRABOWO tampil sebagai PEMOHON, bukan mitra sejajar. Dalam politik visual, itu adalah bentuk dominance signaling — menunjukkan siapa yang punya kuasa mendikte narasi.
3. Lapisan Etika Diplomasi: Pergeseran dari Moral ke Transaksional
Pertemuan yang seharusnya membahas penyelesaian kemanusiaan Palestina BERUBAH menjadi arena percakapan pribadi tentang proyek dan relasi bisnis keluarga.
Ini menunjukkan bahwa PRABOWO GAGAL membedakan domain moral politik luar negeri dari kepentingan ekonomi privat.
Maka reaksi dunia — terutama media seperti The Guardian, Al Jazeera, dan Politico — bukan sekadar mengecam Trump, tetapi juga mempertanyakan kedewasaan diplomatik Indonesia di bawah kepemimpinannya.
Karena dalam diplomasi internasional, perception is policy — dan citra bahwa “Presiden Indonesia meminta waktu dengan anak-anak Trump” menggerus kredibilitas strategis yang baru saja dibangun di PBB.
Kesimpulan Analitik
Apa yang terjadi di Sharm El-Sheikh bukan hanya momen kecil, melainkan refleksi dari dua hal penting:
1. Trump yang kembali memainkan geopolitik sebagai bisnis pribadi, menjual perdamaian sebagai produk transaksional.
2. Prabowo yang tampak belum menyadari dirinya bukan lagi oposan nasional, tetapi aktor global — di mana setiap bisikan bisa menjadi berita, dan setiap gestur bisa memengaruhi kredibilitas negara.
Ini bukan lagi tentang Palestina, melainkan tentang political positioning dan personal leverage.
Trump mendapatkan validasi, Prabowo kehilangan momentum. Yang tersisa hanyalah simbol bahwa “perdamaian” kini diatur oleh mereka yang memperdagangkannya. (***)
Tinggalkan Balasan