JAKARTA RAYA – Aturan soal tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang diteken oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi masih ramai diperbincangkan. Regulasi tersebut mengatur bahwa gaji pekerja, baik pegawai negeri sipil (PNS), karyawan swasta, maupun pekerja mandiri (freelancer) akan dipotong untuk simpanan Tapera.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang ditandatangani oleh Jokowi pada 20 Mei lalu.
Dalam PP tersebut tertuang besaran simpanan peserta atau iuran dari Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah 3% dari gaji atau upah Peserta Pekerja dan penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri.
Besaran simpanan untuk Peserta Pekerja ditanggung bersama oleh Pemberi Kerja sebesar 0,5% dan Pekerja sebesar 2,5%. Sementara besaran simpanan untuk Peserta Pekerja Mandiri ditanggung sendiri sebesar 3%.
Menanggapi hal ini, Ketua Kamar Dagang Indonesia (KADIN) DKI Jakarta pun ikut berkomentar. Menurutnya, kewajiban membayar Tapera sejatinya merupakan tanggung jawab masing-masing pekerja. Kalaupun perusahaan ikut serta, sifatnya hanya membantu saja, terkait administrasinya.
“Namun, bila itu menjadi tanggung jawab perusahaan, dalam arti diluar gaji yang diberikan, berarti ada extra cost yang harus dikeluarkan. Belum tentu perusahaan menyanggupinya, apalagi bila jumlah pegawainya mencapai ratusan atau ribuan orang. Hal tersebut tentu bisa menjadi beban bagi perusahaan. Program Tapera memberatkan beban iuran, baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja atau buruh,” katanya, melalui keterangannya, Rabu (29/5/2024)
Sebab, kondisi antara satu perusahaan dengan perusahaan lain tentu tidaklah sama. Selain itu, nominal gaji dari tiap karyawan tentu berbeda sesuai jabatannya. Misal, seorang karyawan yang bergaji Rp5 juta, artinya perusahaan harus mengeluarkan sebesar 0,5% atau Rp25 ribu untuk iuran Tapera-nya.
“Jumlah itu dikalikan dengan jumlah karyawan yang berpendapatan sama. Kalau gajinya berbeda tentu lain lagi jumlahnya. Ini tentu bukan kondisi yang mudah di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih berfluktuasi seperti saat ini. Beban tersebut menjadi semakin berat dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar, Jelasnya.
Menurut Diana Dewi, dengan lahirnya regulasi ini akan menimbulkan pertanyaan? lantas bagaimana terhadap pekerja yang sudah memiliki cicilan rumah? Bagaimana mekanismenya? Karena artinya, dia akan memiliki dua tanggungan, cicilan rumah dan keharusan membayar Tapera juga. Tentu ini akan sangat memberatkan pekerja. Sebab, tidak semua pekerja sanggup menanggung beban dua kali.
“Saya menilai, kebijakan ini lebih baik bersifat optional, tidak di generalisir. Artinya, pekerja yang ikut iuran Tapera adalah mereka yang belum memiliki rumah atau berencana memiliki rumah. Bagi pekerja yang sudah memiliki rumah atau sedang mencicil rumah, sebaiknya tidak usah ikut Tapera lagi,” ucapnya
Begitu juga bagi pekerja yang upahnya masih di bawah standar UMP/UMR, apakah juga diharuskan ikut? Sementara untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja dengan jumlah pendapatannya itu masih sulit. Jadi, tidak serta-merta semua pekerja diwajibkan.
Tidak tepat bila upaya pemerintah untuk menanggulangi backlog perumahan lantas membebankan kepada rakyat, melalui kewajiban iuran Tapera bagi seluruh pekerja.
“Saya berharap pemerintah juga bisa wise melihat persoalan tersebut sehingga perusahaan tidak merasa tertekan untuk mengeluarkan ekstra cost seperti itu. Meski implementasi kebijakan itu hingga 2027 nanti, namun sebaiknya,” tuturnya. (hab)
Tinggalkan Balasan