JAKARTA RAYA — Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) tengah menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Bukan karena manfaat perlindungan privasi yang dijanjikan, melainkan karena potensi pasal-pasalnya untuk membungkam kritik, membatasi kerja jurnalistik, dan membahayakan kebebasan berekspresi.

Koalisi Masyarakat Sipil Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP), yang terdiri dari LBH Pers, Elsam, AJI Indonesia, SAFEnet, serta sejumlah akademisi dan seniman, secara resmi mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (30/7). Inti permohonannya: meminta pengecualian khusus terhadap jurnalis, peneliti, dan pelaku seni dari jeratan Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) dalam UU PDP.

Karet dan Mengancam: Kritik Bisa Dipidanakan

Menurut Direktur LBH Pers, Mustafa, dua pasal tersebut mengandung norma yang terlalu luas dan lentur, sehingga bisa dikenakan kepada siapa pun tanpa harus ada niat jahat atau dampak yang jelas.

“Cakupannya sangat luas. Ketika saya mengungkap nama atau foto seseorang dalam konteks karya jurnalistik atau seni, saya bisa langsung dijerat pidana. Tidak ada ruang interpretasi yang melindungi niat baik atau kepentingan publik,” tegas Mustafa di Gedung MK.

Pasal 65 ayat (2) menyatakan:

“Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan miliknya.”

Sedangkan Pasal 67 ayat (2) menetapkan sanksi:

Pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp4 miliar.

Masalahnya, menurut Mustafa, pasal ini bisa dijadikan alat untuk membungkam jurnalis yang mengungkap korupsi, akademisi yang merilis studi berbasis data tokoh publik, atau seniman yang membuat karya berbasis figur publik.

Data Publik Disamakan dengan Data Pribadi

Koordinator Advokasi LBH Pers, Gema Gita Persada, menambahkan bahwa UU PDP memang membedakan antara data pribadi umum dan data pribadi spesifik, seperti rekam kejahatan atau informasi keuangan. Namun, tidak ada klausul yang menyatakan bahwa data pejabat publik adalah informasi publik.

“Dalam praktik jurnalistik dan riset, informasi soal catatan keuangan atau hukum pejabat sangat penting untuk mengawasi kekuasaan. Tapi UU PDP justru menyamakan itu dengan data pribadi biasa,” kata Gema.

Alhasil, jurnalis yang mengungkap transaksi mencurigakan seorang menteri, atau peneliti yang menyajikan data tentang konflik kepentingan pejabat, bisa dituntut karena dinilai mengungkap data pribadi.

Kebebasan Informasi Terancam

Permohonan ke MK ini bukan sekadar soal teknis perundang-undangan, melainkan menyangkut hak konstitusional warga negara, seperti yang dijamin UUD 1945 Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi… untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”

Koalisi SIKAP menilai, jika pasal-pasal bermasalah itu tidak diberi pengecualian, maka kerja jurnalistik, penelitian ilmiah, dan seni kritis bisa lumpuh.

“Pasal-pasal ini bisa disalahgunakan oleh pejabat untuk melindungi diri dari kritik. Kita tidak bicara pelanggaran privasi warga biasa, tetapi potensi penyalahgunaan kekuasaan,” ujar Mustafa.

Permintaan: Pengecualian Bersyarat untuk Kepentingan Publik
Dalam petitumnya, Koalisi SIKAP meminta MK menyatakan bahwa Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dikecualikan untuk:

  • Jurnalisme investigatif dan pemberitaan publik,
  • Penelitian akademik,
  • Ekspresi kesusastraan dan kesenian,
  • Karya dokumenter dan budaya kritik.

Dengan kata lain, bukan substansi UU PDP yang ditolak, melainkan penerapannya yang tidak membedakan konteks pengungkapan — apakah demi kepentingan publik atau sekadar penyebaran data pribadi.

UU PDP: Visi Perlindungan atau Alat Represi?

UU PDP sejatinya dibuat untuk melindungi hak privasi individu di era digital. Namun, tanpa pengecualian yang jelas untuk aktivitas berbasis kepentingan publik, UU ini justru berpotensi menjadi alat represi baru yang legal.

Beberapa negara demokratis, seperti Inggris dan Jerman, telah memiliki aturan serupa, namun dengan pengecualian eksplisit bagi jurnalis, akademisi, dan seniman. Indonesia masih absen dalam aspek ini.

“Kita sepakat data pribadi harus dilindungi. Tapi perlindungan tak boleh jadi penghalang transparansi dan kritik terhadap kekuasaan,” tegas Gema.

Momentum Uji Konstitusional: Ujian Bagi Demokrasi Digital

Permohonan ke MK ini menjadi ujian penting bagi arah demokrasi digital Indonesia. Apakah perlindungan data akan dikembangkan sejalan dengan prinsip keterbukaan dan hak atas informasi? Ataukah justru menjadi senjata untuk membungkam suara-suara kritis?

Koalisi SIKAP menegaskan, perjuangan ini bukan hanya soal profesi jurnalis atau seniman, tapi soal menjaga ruang publik yang bebas dan sehat dalam iklim demokrasi.

“Jika kritik terhadap pejabat bisa dipidana hanya karena menyebut data, maka demokrasi tinggal menunggu waktu,” pungkas Mustafa.