JAKARTA RAYA, Langkat – Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng divonis 10 tahun penjara atas kasus perambahan 210 hektare Hutan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (SM KG-LTL). Selain itu, Akuang diwajibkan membayar uang pengganti (UP) Rp797,6 miliar. Dalam kasus ini, Kepala Desa Tapak Kuda, Imran, juga turut menjadi terpidana.
Kerugian akibat perusakan lingkungan tersebut mencapai Rp797,6 miliar yang terdiri dari:
- Kerugian ekologis: Rp436,63 miliar
- Kerugian ekonomi lingkungan: Rp339,15 miliar
- Biaya pemulihan lingkungan: Rp9,26 miliar
- Biaya revegetasi: Rp2,11 miliar
Angka kerugian itu didasarkan pada keterangan saksi ahli lingkungan Prof. Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si, dan Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Medan yang dipimpin M Nazir pada Senin (11/8/2025) menyatakan kedua terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. “Menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun kepada terdakwa Alexander Halim alias Akuang dan terdakwa Imran. Memerintahkan agar para terdakwa tetap ditahan,” tegas hakim.
Selain pidana badan, keduanya juga dijatuhi denda Rp1 miliar dengan ketentuan subsider tiga bulan kurungan. Khusus Akuang, diwajibkan membayar UP Rp797,6 miliar. Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan sejak putusan inkrah, maka jaksa berhak menyita dan melelang harta benda terpidana. Bila harta tak mencukupi, diganti dengan pidana penjara tambahan selama lima tahun.
JPU Banding
Putusan hakim tersebut lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta masing-masing terdakwa dihukum 15 tahun penjara, serta menuntut Akuang membayar UP Rp856,8 miliar.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Dr. Harli Siregar SH MHum, memastikan pihaknya telah mengajukan banding. “Kita sudah banding loh Bang,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Kamis (21/8/2025). Harli juga mengirimkan akta pernyataan banding atas putusan tersebut dengan Nomor 52/Akta.Pidsus-TPK/2025/PN Mdn tanggal 15 Agustus 2025.
Terpidana Belum Ditahan, Sawit Diduga Masih Dipanen
Meski telah divonis, Akuang hingga kini belum ditahan. Bahkan, ia diduga masih menikmati hasil panen sawit dari lahan 210 hektare yang digarap melalui Koperasi Sinar Tani Makmur (STM). Sumber menyebut, sekali panen Tandan Buah Segar (TBS) dari perkebunan ilegal tersebut bernilai puluhan miliar rupiah.
Kasi Intel Kejari Langkat, Ika Luis Nardo SH MH, ketika dikonfirmasi Selasa (26/8/2025) beralasan bahwa terpidana belum ditahan karena perkara masih dalam tahap banding. “Masih dalam tahap banding, Bang,” ujarnya singkat melalui pesan WhatsApp.
Terkait dugaan panen sawit ilegal yang masih berlangsung, Nardo mengaku belum mengetahui dan berjanji akan menyampaikannya kepada JPU. Ia menjelaskan, pasca penyitaan lahan oleh PN Tipikor Medan (Surat Sita No. 39, 14 Oktober 2024), lahan tersebut dititipkan ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara.
“Lahan tersebut statusnya dititipkan ke BKSDA, Bang. Jadi yang mengawasi adalah BBKSDA,” pungkasnya.
Namun, ia tak menjelaskan lebih jauh mengenai mekanisme pengawasan objek sitaan yang seharusnya berada dalam pantauan aparat penegak hukum, khususnya bidang intelijen kejaksaan.
Awal Kasus
Kasus ini bermula pada tahun 2013 saat Akuang meminta Imran, yang kala itu menjabat Kepala Desa Tapak Kuda, untuk membuat surat keterangan tanah atas lahan di kawasan SM KG-LTL. Lahan tersebut kemudian dipecah dan dimanipulasi dokumennya hingga seolah-olah sah menjadi kepemilikan pribadi, yang rencananya ditingkatkan menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) melalui notaris. Padahal, kawasan itu merupakan kawasan konservasi hutan lindung yang tidak dapat dimiliki secara pribadi karena tidak memiliki izin pelepasan kawasan dari pemerintah. (sin)
Tinggalkan Balasan