Mohamad Fuad, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Sosial (Puskas)
JAKARTA RAYA– Reformasi politik yang terjadi pasca runtuhnya Orde Baru pada 1998 diharapkan menjadi awal dari penataan ulang struktur politik dan ekonomi yang lebih adil dan berpihak pada rakyat. Namun, kenyataannya, struktur politik ekonomi Indonesia belum menunjukkan perubahan signifikan. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, terutama pada Pasal 33, justru dinilai membuka ruang lebih luas bagi masuknya sistem ekonomi kapitalistik yang kerap dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil.
Dalam konteks ini, peran para kiai sebagai penjaga moral bangsa dan tokoh masyarakat religius menjadi sorotan. Meski keterlibatan mereka dalam politik kebangsaan masih terjaga secara simbolik—melalui nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan semangat nasionalisme—namun kehadiran mereka dalam merespons dinamika politik, hukum, dan hak asasi manusia dinilai masih minim, terutama dalam satu dekade terakhir.
Sejumlah pengamat menilai bahwa para kiai cenderung bersikap pasif dalam menghadapi penyimpangan moral dan hukum yang dilakukan oleh sebagian elit politik dan pengusaha. Diamnya sebagian kiai dalam menyikapi pelanggaran konstitusi dan nilai-nilai luhur bangsa menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya semangat amar ma’ruf nahi munkar dalam praktik politik kebangsaan mereka.
Gerakan Politik Kiai: Efektif atau Simbolik?
Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan mendasar seperti korupsi, kolusi, nepotisme, hingga praktik politik uang. Dalam situasi ini, gerakan politik kebangsaan kiai dinilai belum menunjukkan kekuatan yang berarti. Antara kelompok “kiai politik” dan “politik kiai” tidak menunjukkan posisi yang tegas terhadap penyimpangan kekuasaan, seolah membiarkan kondisi tersebut berlangsung tanpa koreksi moral yang jelas.
Gerakan politik kiai selama ini lebih berfokus pada isu-isu kedamaian, harmoni, dan kesepakatan nasional. Nilai-nilai lokal, moderatisme agama, dan kepatuhan terhadap aturan menjadi pilar utama. Namun, pendekatan tersebut dianggap belum cukup untuk menjawab tantangan bangsa, seperti krisis moral generasi muda, lemahnya wawasan kebangsaan, dan memburuknya kepercayaan publik terhadap elite politik.
Beragamnya pandangan politik di kalangan kiai, terutama saat pemilihan presiden, membuat suara mereka tidak solid. Keterpecahan dukungan ini dinilai melemahkan posisi tawar kiai dalam percaturan politik nasional. Sementara itu, sebagian kiai yang terlibat dalam politik praktis kerap dihadapkan pada dilema etik: antara menjaga marwah keulamaan atau terlibat dalam arena politik yang sering disebut “kotor”.
Antara Ibadah dan Kekuasaan
Meski demikian, terdapat pula kiai yang melihat politik sebagai bagian dari ibadah dan jalan perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bagi mereka, politik bukan semata soal kekuasaan, tetapi tentang pengabdian kepada rakyat. Namun sayangnya, dalam praktiknya, gerakan politik sebagian kiai kerap terjebak dalam sistem patronase, loyalitas personal, dan nepotisme, bukan berdasarkan kompetensi dan integritas (meritokrasi).
Pengamat politik Islam menyebutkan bahwa masih ada harapan bila gerakan politik kebangsaan kiai mampu membangun sinergi antara nilai keagamaan, etika politik, dan kapasitas kepemimpinan. Dengan begitu, peran kiai dalam dunia politik tidak lagi simbolik, melainkan menjadi kekuatan moral yang mampu mendorong perubahan sistemik di tubuh demokrasi Indonesia.
Demokrasi Indonesia, meski disebut “cacat” oleh lembaga internasional seperti Economist Intelligence Unit, tetap mempertahankan mekanisme pemilu yang relatif bebas dan adil. Partisipasi rakyat masih terjaga. Namun, kualitas demokrasi dan moralitas politik membutuhkan peran aktif semua elemen bangsa, termasuk para kiai.
Gerakan politik kiai akan menjadi efektif jika mampu keluar dari jebakan pragmatisme dan mampu membangun kesadaran kolektif untuk menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar secara konsisten, di dalam maupun di luar panggung politik formal. (***)
Tinggalkan Balasan