JAKARTA RAYA, Medan – Kegagalan aparat kepolisian, baik di Polrestabes Medan maupun Polda Sumatera Utara, dalam menangkap tiga Daftar Pencarian Orang (DPO) kasus penganiayaan menuai gelombang kritik tajam dari masyarakat. Ketiga tersangka—Arini Ruth Yuni br Siringoringo, Erika br Siringoringo, dan Nurintan br Nababan—telah ditetapkan sebagai DPO sejak 14 April 2025, namun hingga kini masih bebas berkeliaran.
Kasus ini bermula dari perkelahian antaranggota keluarga yang kemudian dilaporkan oleh korban, Doris, ke Polrestabes Medan pada 10 November 2023 dengan tuduhan penganiayaan, sesuai Pasal 170 Jo 351 KUHP. Ironisnya, laporan balik yang diajukan oleh Erika ke Polsek Medan Area sehari sebelumnya, 9 November 2023, justru telah diproses hingga tahap putusan di pengadilan—dan kini bahkan telah memasuki proses banding oleh pihak kejaksaan.
“Mengapa laporan kami yang lebih dulu justru mandek di kepolisian, sementara laporan balik dari pelaku langsung diproses hingga vonis? Bukankah saat SPDP dikirim ke kejaksaan, sudah ada pemberitahuan lengkap dari kepolisian?” ujar pihak keluarga korban, mempertanyakan keadilan hukum.
Salah satu DPO, Arini Ruth Yuni br Siringoringo, diketahui merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) di KPP Pratama Cilandak, Jakarta Selatan. Namun hingga kini, ia belum juga menyerahkan diri. Publik pun mempertanyakan integritas dan kepatuhan seorang ASN terhadap hukum.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa ketiga DPO sempat diamankan oleh Polsek Bandara Kualanamu, namun kemudian dilepaskan dengan alasan “orang tua sakit” dan “kekurangan personel”. Keputusan ini memperkuat dugaan publik adanya kolusi atau permainan di balik proses hukum yang lamban dan tidak transparan.
“Bagaimana bisa tiga DPO dilepaskan begitu saja hanya karena alasan personal? Ini bentuk ketidakmampuan atau ketidakmauan aparat untuk menegakkan hukum?” kata seorang aktivis hukum di Medan.
Keluarga korban terang-terangan menuding adanya indikasi suap dalam penanganan kasus ini. Mereka menilai, dengan peralatan dan jaringan yang dimiliki, polisi seharusnya mampu menangkap para DPO di mana pun mereka berada.
“Jika polisi serius, tentu mereka bisa menangkap. Tapi kenapa seperti enggan bergerak? Jangan-jangan memang ada ‘uang pelicin’ di balik lambannya penangkapan,” tuding keluarga korban.
Situasi ini tidak hanya memperburuk citra institusi kepolisian, tapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum di Sumatera Utara. Masyarakat kini menanti respons tegas dari Kapolda Sumut, Irjen Pol. Whisnu Hermawan Februanto, untuk menindaklanjuti kasus ini secara profesional dan transparan.
Jika tidak ada tindakan nyata, keheningan dan sikap pasif aparat hanya akan memperkuat kecurigaan publik akan bobroknya sistem peradilan dan hukum yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. (sin)
Tinggalkan Balasan