JAKARTA RAYA – Advokat senior sekaligus CEO Law Firm Fernando Silalahi & Partners, Dr. Fernando Silalahi, S.T., S.H., M.H., CLA, mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk menindaklanjuti dugaan praktik mafia tanah yang merugikan kliennya, Amonang Pangaribuan, seorang warga Cakung, Jakarta Timur.
Fernando mengungkapkan, terdapat tujuh sertifikat hak atas tanah yang diduga diterbitkan di atas lahan garapan sah milik kliennya di Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Padahal, lahan tersebut telah dikuasai dan digarap sejak tahun 1974 dengan dokumen lengkap yang hingga kini masih dipegang kliennya.
“Bagaimana mungkin bisa terbit sertifikat baru, sementara surat asli tanah garapan dan akta peralihan sejak 1974 masih ada di tangan klien kami, dan tidak pernah dialihkan melalui jual beli? Ini jelas janggal dan berpotensi praktik mafia tanah,” tegas Fernando, Kamis (25/9/2025).
Kronologi Penguasaan Tanah
Menurut Fernando, kliennya memegang Surat Keterangan Tanah Garapan Nomor 101/A/I/24/1974 serta Surat Oper Alih Tanah Garapan dari pemilik sebelumnya, Ali Pangaribuan, yang dibuat pada 26 Desember 1974.
Kepemilikan ini diperkuat dengan berbagai dokumen resmi, termasuk:
Pertama, Surat Keterangan Nomor 77/I/1.711.03/1983 yang menyatakan Amonang Pangaribuan sebagai penggarap sah tanah seluas 27.100 m².
Kedua, Surat Pernyataan Tidak Sengketa (2019) dari Lurah Pegangsaan Dua.
Ketiga, Rekomendasi Permohonan Hak atas Tanah Negara Nomor 81/1.711.1 (2019) dari Camat Kelapa Gading dan Lurah Pegangsaan Dua.
“Artinya, tanah ini secara administratif tidak pernah menjadi objek sengketa, bahkan direkomendasikan untuk ditingkatkan statusnya menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM),” jelas Fernando.
Kejanggalan di BPN
Situasi berubah ketika staf kantor hukum Fernando melakukan pengecekan ke BPN Jakarta Utara pada 15 September 2025. Pihak BPN, melalui Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa, Timbul Hari Mukti, S.H., M.H., menyatakan bahwa sudah ada tujuh sertifikat yang diterbitkan di atas tanah tersebut.
Namun, ketika diminta identitas para pemilik sertifikat itu, BPN menolak memberikan informasi dengan alasan harus ada izin pimpinan.
“Ini menimbulkan tanda tanya besar. Jika benar ada sertifikat, seharusnya BPN bisa membuka secara transparan. Penolakan itu justru memperkuat dugaan adanya maladministrasi dan keterlibatan jaringan mafia tanah,” kata Fernando.
Pernah Jadi Objek Pidana
Fernando juga menyinggung kasus pidana yang menimpa seorang bernama Fadillah, yang pernah mengklaim tanah kliennya berdasarkan akta bermasalah pada 2016. Dalam putusan PN Jakarta Utara Nomor 160/Pid.B/2021, Fadillah dinyatakan bersalah karena melakukan perusakan pagar dan memasang plang klaim kepemilikan di tanah tersebut.
“Putusan pengadilan itu jelas membuktikan tanah ini dikuasai sah oleh klien kami, bukan pihak lain,” tegasnya.
Minta Perlindungan Satgas Anti-Mafia Tanah
Atas dasar tersebut, Fernando dan tim kuasa hukum melayangkan surat resmi kepada Kepala Kantor ATR/BPN Jakarta Utara serta Satgas Anti-Mafia Tanah ATR/BPN Pusat untuk meminta keterangan dan perlindungan hukum.
“Kami minta investigasi menyeluruh. Negara tidak boleh membiarkan mafia tanah merampas hak rakyat kecil. Jika ini dibiarkan, kepastian hukum di bidang pertanahan akan runtuh,” ujar Fernando.
Ia juga menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya menyangkut satu orang, melainkan mencerminkan kerapuhan sistem agraria nasional.
“Kasus klien kami adalah potret bagaimana rakyat kecil bisa dirugikan oleh mafia tanah yang memanfaatkan celah administrasi. Pemerintah harus hadir menegakkan keadilan,” pungkas Fernando. (hab)
Tinggalkan Balasan