JAKARTA RAYA – Rd. Yudi Anton Rikmadani resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum setelah menuntaskan ujian akhir disertasi di Universitas Negeri Jambi (Unja). Dalam sidang terbuka promosi doktor tersebut, ia mempertahankan disertasinya yang berjudul “Rasio Legis Penguatan Kewenangan Penyidik dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Siber di Indonesia.”
Dr. Rd. Yudi Anton Rikmadani, S.H., M.H., menjelaskan bahwa penelitiannya dilatarbelakangi oleh meningkatnya kejahatan siber secara global akibat pesatnya perkembangan teknologi digital, luasnya akses internet, dan lemahnya sistem keamanan yang sering diabaikan. Kondisi ini menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakat, meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurutnya, UU ITE saat ini belum sepenuhnya komprehensif dalam menjangkau beragam bentuk kejahatan siber yang terus berevolusi, seperti phishing, doxing, dan malware. “Penyidik Polri belum mampu mengatasi dan menangani bentuk kejahatan siber yang berkembang dalam penegakan hukum,” tegas Yudi.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Yudi mengusulkan agar pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap UU ITE dengan menambahkan norma yang mencakup jenis-jenis kejahatan siber baru yang terus bermunculan. Ia juga menyarankan agar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) diberikan kewenangan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), atau diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Selain itu, Yudi menilai penting untuk memperkuat perlindungan hukum yang menjamin kepastian bagi masyarakat sebagai korban kejahatan siber. Ia juga mendorong perluasan subjek hukum agar penegakan hukum dapat menjangkau pelaku yang berada di luar negeri namun melakukan kejahatan siber terhadap target di Indonesia.
“Peran BSSN perlu diperkuat, baik dalam pencegahan maupun penindakan terhadap ancaman, serangan, dan tindak pidana siber. Banyak negara di Asia dan benua lain telah membentuk Dewan Keamanan Siber sebagai otoritas yang kuat dalam menangani kasus-kasus siber,” ungkapnya.
Yudi menegaskan, tanpa penguatan kewenangan BSSN, Indonesia akan kesulitan menuntaskan kasus kejahatan siber, baik di tingkat regional maupun global. “Perubahan ini penting untuk memperkuat peran BSSN agar mampu menciptakan kedamaian, keamanan, kedaulatan, serta iklim finansial yang stabil,” ujarnya.
Ia juga menekankan perlunya harmonisasi dan sinkronisasi antar lembaga penegak hukum—baik Polri maupun PPNS—serta kerja sama lintas lembaga dalam menegakkan hukum tindak pidana siber di Indonesia. “Dengan sinergi yang kuat, masyarakat Indonesia dapat lebih siap berkiprah di era digital menuju Indonesia Emas,” tambahnya.
Adapun tim penguji disertasi terdiri atas Dr. Hartati, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum Unja, Ketua Penguji), Prof. Hafrida, S.H., M.H. (Promotor), Dr. Elly Sudarti, S.H., M.Hum. (Ko-Promotor), serta anggota tim penguji Prof. Dr. Elita Rahmi, S.H., M.Hum., Prof. Dr. H. Usman, S.H., M.H., Dr. Sahuri Lasmadi, S.H., M.Hum., Dr. Sri Rahayu, S.H., M.H., dan Dr. Herry Liyus, S.H., M.H..
Penguji eksternal, Prof. Dr. Herlambang, S.H., M.Hum. dari Universitas Negeri Bengkulu, menilai bahwa disertasi Yudi memiliki kontribusi penting dalam penguatan regulasi BSSN sebagai penyidik tindak pidana siber. “Ia mendapat nilai A, nilai tertinggi dalam ujian akhir. Kesungguhan Yudi dalam menempuh studi doktoral di tengah kesibukannya sebagai akademisi dan advokat patut diapresiasi,” ujarnya.
“Menurut saya, itu prestasi yang luar biasa. Tidak semua orang mampu melakukannya,” tambah Prof. Herlambang. (hab)


Tinggalkan Balasan