JAKARTA RAYA, Bekasi – Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang diduga menimbulkan kegelisahan di kalangan pejabat Kota Bekasi.
Kondisi tersebut mencuat seiring viralnya foto spanduk bertuliskan “#Jaga Wali Kota Bekasi, Tolak KPK Obok-obok Kota Bekasi” yang terpasang di salah satu sudut jalan Kota Bekasi dan tersebar luas di media sosial.
Pengamat politik dari Etos Indonesia Institute, Iskandarsyah, menilai kekhawatiran tersebut sebagai hal yang wajar apabila memang terdapat informasi bahwa KPK berpotensi menyasar pejabat di Kota Bekasi. Apalagi, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi dipimpin oleh kepala daerah yang berasal dari partai politik yang sama, yakni PDI Perjuangan.
Menurut Iskandar, keberadaan spanduk yang berisi penolakan terhadap KPK merupakan bentuk perlawanan terhadap proses penegakan hukum. Ia menilai sikap tersebut tidak terlepas dari posisi politik PDIP yang saat ini berada di luar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka.
“Saat PDIP berada di tampuk kekuasaan, banyak kepala daerah dari luar koalisinya yang terseret kasus hukum. Kini kekuasaan berada di tangan Prabowo-Gibran, sementara PDIP memilih berada di luar pemerintahan. Konsekuensinya, kepala daerah dari partai di luar pemerintahan berpotensi menjadi sasaran penegakan hukum,” ujar Iskandar kepada Mediakarya, Ahad (21/12/2025).
Dalam konteks pemerintahan Kota Bekasi, Iskandar menilai Wali Kota Bekasi Tri Adhianto, yang juga menjabat Ketua DPC PDIP Kota Bekasi, diduga tidak sepenuhnya bersih dari persoalan korupsi.
Ia mengungkapkan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, laporan dugaan korupsi yang melibatkan Wali Kota Bekasi beserta keluarganya telah masuk ke KPK dan Kejaksaan Agung. Oleh karena itu, proses penegakan hukum disebut tinggal menunggu momentum yang tepat.
“Saya melihat penegakan hukum sering dipersepsikan sebagai alat balas dendam politik akibat politisasi. Pola ini sudah terjadi sejak era Demokrat, berlanjut di masa PDIP, dan kini di era Gerindra. Siapa pun rezim yang berkuasa, politisi dari partai oposisi kerap menjadi sasaran aparat penegak hukum,” jelasnya.
Iskandar menambahkan, persoalan tersebut muncul akibat adanya intervensi dan sikap aparat penegak hukum yang tidak profesional, sehingga memunculkan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik. Penegakan hukum pun kerap bergeser dari keadilan substantif menjadi sarana kepentingan politik.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa kepala daerah yang memiliki integritas tidak perlu takut menghadapi proses hukum. Selama bersih dari praktik korupsi, intervensi apa pun tidak akan berpengaruh.
“Penyebaran spanduk penolakan terhadap KPK justru menimbulkan kecurigaan. Kalau bersih, mengapa harus risih? Banyak kepala daerah yang diperiksa KPK berkali-kali, tetapi karena tidak terbukti bersalah, mereka tetap aman. Soal Wali Kota Bekasi, biarlah publik yang menilai,” tegasnya.
Lebih lanjut, Iskandar menyebut bahwa kasus hukum besar kerap dijadikan ‘sandera politik’ untuk menekan lawan. Hal inilah yang kemudian memicu fenomena politisi ‘kutu loncat’ yang berpindah partai demi mengamankan posisi dan kepentingan pribadi.
“Pertanyaannya, apakah fenomena itu juga terjadi di Kota Bekasi? Hari ini di PDIP, bisa saja ke depan lompat ke Gerindra. Politisi pragmatis seperti ini sangat berbahaya karena tidak memiliki ideologi partai,” pungkasnya. (Hab)


Tinggalkan Balasan