JAKARTA RAYA | JAKARTA

Keponakan Presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo atau yang akrab disapa Sara membela anggota Polri, Ipda Rudy Soik yang dipecat gegara mengusut mafia Bahan Bakar Minyak (BBM).

Ketua Harian Jaringan Nasional (Jarnas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang juga anggota DPR RI komisi III tersebut akan melaporkan permasalahan ini kepada Presiden Prabowo Subianto bila tidak dituntaskan Polri.

“Sebenarnya saya sangat menyayangkan hal seperti ini harus diangkat ke DPR RI Komisi III yang padahal ini sesuatu yang kalau sudah betul-betul diungkap dan diselesaikan, ini tidak harus sampai ke sini,” tegas Sara di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, dikutip cnnindonesia com, Senin (28/10).

Padahal, lanjut Sara, sosok Ipda Rudy Soi merupakan orang yang sejak lama memperjuangkan nasib masyarakat kecil di NTT, termasuk dalam kasus TPPO.

“Saya juga ingin meng-highlight mari kita fokus, utamanya yang harus dikejar adalah mafia BBM, mafia TPPO. Sangat disayangkan kalau ada polisi yang memang lurus, bersih sampai sedemikian (dipecat) hanya untuk bisa melawan hal-hal tersebut,” tuturnya.

Dirinya mengaku kenal dengan Ipda Rudy Soik saat Prabowo Subianto pada 2013 silam menyelamatkan Wilfrida Soik pekerja rumah tangga (PRT) migran asal NTT yang terancam hukuman mati di Malaysia. Rupanya, Wilfrida Soik merupakan saudara dari Rudy Soik.

“Jadi itulah kenapa akhirnya kami dulu bisa bertemu dan itu kenapa kami mengenal beliau baik, dan mohon ini bisa dikembalikan ke jalurnya,” ucap dia.

“Mari kita fokus untuk memberantas mafia BBM, karena justru ini diangkat saya mendapat laporan tadi pagi dari masyarakat NTT rupanya sejak kasus ini diangkat BBM-nya jadi lancar,” tandasnya.

Sara menambahkan, dirinya akan melapor kepada Presiden Prabowo Subianto jika nasib Rudy Soik, polisi yang dipecat karena membongkar kasus mafia BBM di Nusa Tengara Timur (NTT), tidak ditindaklanjuti dengan jelas oleh Polri.

“Kalau tidak ada tindak lanjut yang jelas dan tidak ada keberpihakan yang jelas kepada masyarakat, khususnya dalam hal ini saya mewakili NTT, tentunya saya akan mengangkat ini ke tingkat yang lebih tinggi lagi,” ujar Rahayu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/10).

Walaupun sudah dipecat, pihak kepolisian menyatakan Rudy Soik masih memiliki waktu untuk mengajukan banding atas putusan pemecatan tersebut.

Sementara itu, Kapolda NTT Irjen Daniel Tahi Monang Silitonga mengklaim bahwa Ipda Rudy Soik mendapat sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) bukan imbas dari penyelidikan kasus mafia Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar di NTT.

Ia menjelaskan, Rudy dipecat lantaran akumulasi pelanggaran selama bertugas. Ia melakukan empat pelanggaran disiplin/etik sebelum dipecat dari kepolisian.

Pelanggaran etik pertama, lanjut Daniel, dilakukan Rudi saat tertangkap sedang karaoke saat jam dinas bersama 3 anggota polisi lain. “Nah, ketika ditangkap, mereka sedang duduk berpasangan, melaksanakan hiburan dan kemudian minum-minuman beralkohol,” kata Daniel dalam rapat bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (28/10).

Daniel menyebut pelanggaran  etik tersebut kemudian dijatuhi hukuman berupa minta maaf dan penempatan khusus selama 7 hari.

Ia menyebut dari keempat anggota polisi yang dijatuhi sanksi minta maaf dan penempatan khusus itu hanya Rudy yang tidak menerima dan mengajukan banding.

“Dan pada saat sidang banding menurut hakimnya, bahwa yang bersangkutan tidak kooperatif dan seluruh membantah atas apa yang dilakukan tindakan OTT oleh anggota Propam,” ujarnya.

“Sehingga dijatuhkan putusan memberatkan dan menambah putusan sebelumnya,” sambungnya.

Lebih lanjut, Daniel mengklaim Rudy kemudian melakukan inisiatif untuk melakukan penyidikan mafia BBM usai dijatuhi sanksi etik tersebut. Inisiatif tersebut sebagai upaya framing atas permasalahan pelanggaran etik yang terjadi.

“Selalu mengakui bahwa tindakan di karaoke ini adalah dalam rangka anev (analisis dan evaluasi) kasus BBM. Kemudian selalu mengatakan bahwa karaoke ini adalah tempat safehouse mereka untuk rapat,” katanya.

Lebih lanjut, Daniel menjelaskan, Rudy  turut memfitnah Propam yang memeriksa dirinya menerima setoran dari mafia BBM. Fitnah itu kemudian membuat Rudy kembali dijatuhkan sanksi etik.

Daniel menuturkan Rudy juga kembali dijatuhi etik dengan beberapa kali ditemukan tidak berdinas selama 3 hari berturut-turut dengan terbang ke Jakarta.

Terakhir, kata Daniel, Rudi akhirnya dipecat lantaran menyalahi SOP penyidikan dengan memberikan garis polisi terhadap drum-drum yang diduga terkait mafia BBM.

“Pelanggaran SOP yang melakukan tindakan penyidikan tanpa administrasi penyidikan dan tanpa prosedur yang dikenakan tindakan KKEP dan itulah yang disidangkan dan diputuskan untuk Ipda Rudy Soik tidak layak dipertahankan menjadi anggota Polri,” ujarnya.

Beberapa waktu lalu, Rudy Soik buka suara atas sanksi pemecatan atau Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) usai menyelidiki kasus mafia Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar.

Rudy yang sebelumnya bertugas sebagai KBO Satreskrim Polresta Kupang Kota mengaku kaget atas putusan sanksi pemecatan terhadap dirinya. Ia pun menyebut sanksi pemecatan ini adalah sesuatu yang menjijikkan.

“Masa saya hanya pasang garis polisi terkait mafia minyak menggunakan barcode nelayan kok saya disidang PTDH. Saya juga kaget dengan putusan ini, tapi tidak apa-apa, sebagai warga negara yang taat terhadap aturan, maka saya ikuti prosesnya. Artinya putusan itu belum bersifat final. PTDH itu juga adalah hal yang bagi saya sangat menjijikkan,” kata dia seperti dikutip dari detik.com, Senin (14/10).

Selama proses sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polda NTT, ia memilih tak hadir saat sidang putusan pada Jumat (11/10). Menurut Rudy, sidang KKEP itu hanya menekankan pada proses pemasangan garis polisi yang menyalahi prosedur.

“Saya merasa benar-benar ditekan dalam memberikan keterangan saat itu. Contohnya dalam pemasangan garis polisi itu kan ada rangkaian ceritanya dari tanggal berapa dan seterusnya, tetapi mereka (pimpinan sidang) justru paksa saya agar menceritakan hanya di tanggal 27 (Juni 2024),” tutur Rudy.

“Seharusnya komisi sidang menanyakan kenapa saya memasang garis polisi, itu yang harusnya mereka minta saya untuk menjelaskan, tapi saya sama sekali tidak diberikan ruang untuk menjelaskan sampai akhir, jadi hanya berpatokan pada tanggal 27 itu,” tambahnya. (jr)