JAKARTA RAYA, Karawang — Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi), Ali Nurdin Abdurahman, melakukan kunjungan ke kediaman keluarga Susanti, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tengah menghadapi ancaman hukuman mati di Arab Saudi, Sabtu (12/4/2025). Kunjungan ini berlangsung di Cilamaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.

Ali menjelaskan bahwa kunjungannya bertujuan untuk mendapatkan informasi langsung dari keluarga Susanti demi memberikan gambaran utuh kepada publik. Ia menekankan pentingnya verifikasi informasi dalam menyikapi kasus ini.

“Masih banyak anggapan negatif terhadap Susanti karena informasi yang beredar tidak utuh. Padahal, kebenaran tidak bisa dibangun di atas informasi yang setengah-setengah,” ujar Ali kepada wartawan.

Latar Belakang Kasus

Menurut penuturan Mahfud, ayah Susanti, anaknya diberangkatkan ke Arab Saudi pada tahun 2009 dan bekerja di rumah majikan bersama seorang pekerja lain asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Tiga bulan setelah bekerja, Susanti menemukan anak majikannya telah meninggal di garasi rumah.

Dalam kondisi panik dan tanpa pendampingan hukum, Susanti disebut didesak untuk mengakui perbuatan tersebut. Pengakuan itu, menurut keluarga, dipengaruhi oleh sesama pekerja yang berharap kasus segera selesai. Namun, pengakuan awal tersebut justru menjadi dasar hukuman berat yang dijatuhkan padanya.

Mahfud menambahkan, hasil otopsi menunjukkan tidak ada sidik jari Susanti pada tubuh korban. Ia juga mempertanyakan kemungkinan putrinya dapat melakukan tindak kekerasan terhadap anak majikan yang secara fisik lebih besar.

“Dalam posisi panik, jauh dari keluarga, tanpa pendampingan, dan bahasa yang tidak dikuasai, siapa pun bisa mengalami tekanan luar biasa,” kata Mahfud sambil menahan tangis.

Dugaan Kejanggalan dan Desakan Evaluasi Proses Hukum

Ali Nurdin menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut. Ia menyatakan, terdapat indikasi ketidakwajaran dalam proses hukum dan mempertanyakan kemungkinan adanya unsur komersialisasi dalam bentuk tuntutan uang diyat (uang tebusan).

“Secara logika, ini cacat hukum. Jangan sampai kasus ini menjadi ladang bisnis atas nama keadilan,” tegas Ali.

Ia menambahkan bahwa kasus Susanti seharusnya menjadi cermin dari tanggung jawab negara terhadap warganya di luar negeri. Ia pun menyerukan agar seluruh elemen bangsa terlibat dalam perjuangan menyelamatkan nyawa Susanti.

“Kalau sampai Susanti meninggal padahal bukan pelaku, itu kegagalan nyata negara menjalankan konstitusinya. Ini bukan lagi soal hukum atau uang, ini soal moral dan wibawa bangsa,” ujarnya lantang.

Ali menutup pernyataannya dengan mengutip Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur):
“Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain kemanusiaan.”

Upaya Pendampingan dan Langkah Lanjut

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dikabarkan telah menunjuk pengacara untuk mendampingi Susanti dan mengupayakan penundaan eksekusi. Namun, pihak keluarga dan berbagai elemen masyarakat sipil berharap upaya diplomatik lebih kuat dilakukan, termasuk pendekatan kemanusiaan dan hukum internasional.

Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan menyeluruh terhadap Pekerja Migran Indonesia, mulai dari perekrutan, pendampingan hukum, hingga kepastian hak-hak dasar mereka di negara penempatan. (hab)